Minggu, 04 September 2011

Proses Anulasi Perkawinan Dalam Tribunal Gerejawi

Tribunal Perkawinan Keuskupan

TRIBUNAL merupakan suatu lembaga peradilan di dalam Gereja Katolik, yang berwenang menangani banyak perkara dalam Gereja, yang pembentukan dan pelaksanaannya diatur oleh  Hukum Gereja (Kitab Hukum Kanonik). Lembaga ini merupakan tempat diupayakannya penyelesaian suatu perkara menurut ketentuan hukum gerejawi. Perkara yang dimaksud berkenaan dengan keadilan, penuntutan hak, pemenuhan kewajiban, serta akibat yuridis yang menyertainya. Hal ini merupakan wujud / bentuk pelaksanaan konkrit kuasa yudisial yang dimiliki Gereja atas hal-hal spiritual, hal-hal yang berkenaan dengannya, dan pelanggaran terhadap Hukum Gereja (kan. 1401). 
Pada dasarnya Tribunal berwenang menangani banyak perkara, namun dalam realitasnya di Indonesia, masalah-masalah yang ditangani oleh Tribunal, masih terbatas pada masalah perkawinan. Oleh karena itu, Tribunal ini lebih tepat disebut sebagai Tribunal Perkawinan. Tribunal Perkawinan  menangani masalah-masalah perkawinan, menyangkut validitas atau sah tidaknya sebuah perkawinan. Aspek-aspek perkawinan lain seperti hak akan pengasuhan anak, kewajiban memberi nafkah terhadap anak atau eks pasangan, dan pembagian warisan atau harta kekayaan lain, dibiarkan menjadi kewenangan Pengadilan Sipil. Terhadap aspek-aspek yang terakhir itu Gereja akan menanganinya hanya apabila diperlukan dan secara insidental  (kan. 1672).  
Sah tidaknya sebuah perkawinan, dilihat dari 3 hal, yakni (Lih. kanon 1057§1) :
1.      Materia Sacramenti (subyek), yakni bahwa perkawinan hanya sah  apabila dilaksanakan oleh dua orang yang  berbeda seksualitas ( laki-laki dan perempuan) yang mampu secara hukum.  Mampu secara hukum berarti bahwa keduanya tidak sedang terkena halangan nikah, baik bersifat kodrati maupun gerejawi, sebagaimana ditentukan dalam kanon  1083-1094;.
2.      Forma Sacramenti (konsensus), yakni menyangkut konsensus atau kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah merupakan tindakan kemauan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling memberikan diri dan menerima yang lain untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (Kanon 1057§2). Ada 3 sifat konsensus yang selalu harus ada, supaya perkawinan menjadi sah, yakni:
a.      sungguh-sungguh (verus), menikah dengan serius, tidak simulatif atau berpura-pura, kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata ((Kan. 1101§1);
b.      penuh (plenus), menikah tanpa mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan (Kan. 1101§2), bahwa perkawinan merupakan persekutuan seluruh hidup dan bertujuan untuk kesejahteraan pasangan  serta kelahiran dan pendidikan anak;
c.       bebas (liber), menikah tanpa paksaan dan ketakutan besar.
3.      Forma Canonica (tata peneguhan), bahwa setiap orang katolik hanya dapat menikah secara sah gerejawi di hadapan otoritas Gereja yang berwenang dan dua orang saksi (Kanon 1108), kecuali telah mendapat dispensasi untuk bisa menikah di hadapan petugas resmi di luar Gereja (lih. Kan. 1127§2).
Di dalam Keuskupan, Tribunal berada di bawah otoritas Uskup Diosesan, karena dialah hakim instansi pertama (Kan 1419).  Sebagai hakim utama yg memiliki kuasa yudisial di dalam keuskupan yang dipercayakan kepadanya, kuasa yudisial dapat dijalankannya sendiri atau melalui orang lain, yakni Vicarius Iudicialis dan para hakim (Kan 1420; 135; 391§3). Bersama dengan Vicarius Iudicial dan para hakim, uskup diosesan  membentuk suatu Tribunal  Keuskupan, yang menangani perkara-perkara yang tidak direservasi bagi dirinya sendiri.
      Pendirian Tribunal Perkawinan ini merupakan suatu keharusan seiring dengan keberadaan Uskup diosesan. Tribunal perkawinan ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan Gereja Partikular, karena termasuk salah satu bentuk pelayanan hukum dan pastoral bagi umat beriman di keuskupan. Dalam praksis pelayanan Tribunal perkawinan keuskupan, para hakim berusaha untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang mengalami persoalan hukum dalam hidup perkawinannya, dengan harapan mereka mendapatkan solusi yuridis yang memungkinkannya mendapatkan haknya sebagai warga Gereja (sejauh dimungkinkan oleh hukum). Pelayanan yuridis ini harus sesuai dengan prosedur hukum, khususnya sebagaimana diatur dalam norma-norma umum (kanon 1055-1165) dan norma-norma prosedural (kanon 1671-1716).
Tribunal Perkawinan Keuskupan mewujudkan fungsi dan tujuan Gereja menjaga dan melindungi martabat perkawinan (dignitas matrimonii), kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum), dan kebaikan Gereja (bonum ecclesiae) secara umum. Berkenaan dengan martabat perkawinan, Tribunal mengupayakan terpeliharanya keutuhan ajaran iman dan moral Gereja tentang hakekat, ciri hakiki, dan tujuan perkawinan. Hakekat perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae). Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan dan ketidak-dapat-ceraian (unitas et indissolubilitas). Sedangkan tujuan perkawinan adalah kebaikan suami-isteri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis).
Untuk kesejahteraan suami-isteri, Tribunal mengupayakan penyelesaian kontroversi antara hak dan kewajiban suami-isteri secara timbal-balik. Kontroversi yang sering terjadi adalah hal pemberian dan penerimaan diri, dukungan, dan jaminan akan persamaan derajat, eksklusivitas hubungan, dan kemantapan atau keberlangsungan hubungan. Berkenaan dengan kebaikan Gereja, Tribunal mengupayakan terciptanya tatanan hidup bersama yang harmonis dan terhindarkannya skandal. Konkritnya, Tribunal berupaya menyelesaikan kontroversi yang biasa terjadi, yaitu pelanggaran atas nilai-nilai atau norma perkawinan yang benar, baik, dan indah bagi masyarakat. Menghindarkan skandal berarti mencegah timbulnya keheranan, pertanyaan, atau kebingungan atas suatu pelanggaran yang terjadi dalam komunitas gerejawi atau masyarakat umum.    

Halangan-halangan Nikah & Caput Nullitatis Matrimonii

  Pemutusan dan Pembatalan Perkawinan 
Pemutusan / perceraian ikatan perkawinan (dissolutio matrimonii) tidak sama dengan pembatalan perkawinan (anulatio matrimonii). Pemutusan ikatan perkawinan selalu mengandaikan sahnya (validitas) perkawinan itu sendiri; sedangkan pembatalan lebih merupakan sebuah keputusan yang diambil oleh Pengadilan Gerejawi yang menyatakan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan itu adalah tidak sah, sehingga memang belum pernah terjadi perkawinan yang benar dan sah. Dengan kata lain, secara hukum, perkawiman tersebut dianggap tidak sah sejak awal. Beberapa jenis perkawinan ini adalah:

1.      Perkawinan ratum et non consummatum (kanon 1142)
Kanon ini mengatakan bahwa perkawinan non consummatum antara orang-orang yang telah dibaptis atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis dapat diputus oleh Paus. Ada dua kondisi yang dituntut dalam pemutusan semacam ini, yakni tidak adanya konsumasi dan adanya alasan yang wajar. Otoritas yang berwenang untuk memutuskan perkawinan ini hanyalah         Sri Paus (dalam hal ini, Kongregasi untuk Urusan Ibadat dan Sakramen). Proses pemutusan ini bukan merupakan proses pengadilan (seperti terjadi dengan proses pembatalan atau anulatio) tetapi lebih merupakan proses administrasi. Untuk mendapatkan dispensasi ini, ada dua tahap yang harus dilalui yakni: proses yang terjadi di daerah domisili, di hadapan Ordinaris Wilayah, dan proses yang terjadi di Tahta Suci, di hadapan Kongregasi untuk Urusan Ibadat dan Sakramen.