Crux Spes Unica |
Kota Barus, salah satu stasi di Paroki Pangaribuan, disebut sebagai tempat di mana komunitas Kristen pertama ditemukan di Nusantara. Dari cacatan sejarawan Armenia, Abu Salih, komunitas Kristen di wilayah ini sudah ditemukan pada pertengahan abad ke-7. Berita tentang komunitas ini masih dijumpai sampai abad ke-14. Tetapi sampai sekarang, belum sungguh jelas bagaimana komunitas Kristen di Barus ini mulai dan berakhir. Seperti halnya sejarah Barus yang masih kabur, demikian pula keberadaan komunitas Kristen pertama ini.
Sumatera Utara |
Orang pertama yang mengemukakan tentang keberadaan komunitas Kristen pertama di Barus adalah J.W.M. Bakker. Ia menulis di Majalah Basis dan kemudian diulangi lagi dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid I. Para penulis kemudian mengutip Bakker tanpa tambahan yang baru, karena memang tidak ada bukti baru yang ditemukan untuk memperjelas topic ini. Penelitian arkeologis paling akhir yang dilakukan di Lobu Tua oleh Ẽcole Francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia juga tidak memberikan informasi apa-apa tentang kehadiran komunitas ini. Bakker mengutip Sheik Abu Salih al-Armini yang menulis dalam Tadhakur Fina Akhbar min al-Kana’is wa’l – Adyar Nawahim Misri w’al Iqtha’aaihu (Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan-pertapaan dari Propinsi-propinsi Mesir dan negeri-negeri sekitarnya) sebagai berikut: “Fansur, di sana terdapat banyak gereja dan semuanya dari Nasara Nasathirah dan demikianlah keadaan di situ.
Rumah Adat Batak Toba |
Kesaksian tentang keberadaan komunitas ini juga diberikan oleh dua utusan Paus ke Beijing. P. Odoric de Pordanone OFM yang dalam perjalanan ke Beijing pada tahun 1323 mengunjungi komunitas ini. Sementara Uskup Johanes de Marignolli OFM mengunjungi komunitas Barus pada tahun 1346 dalam perjalanan yang sama. Selain kesaksian dua orang ini, keberadaan komunitas Kristen di Sumatera dan Jawa diperoleh dari tulisan Abhd’ Isho, metropolit Gereja Siria (1291-1319) yang menyebutkan tentang keberadaan Keuskupan Dabhagh, Sin dan Masin. Kalau benar kesaksian di atas, maka kehadiran komunitas Kristen di Barus terkait dengan perdagangan dunia pada waktu itu. Barus adalah kota niaga internasional yang penting di Pantai Barat Sumatera dalam jalur niaga antara India-Sumatera dan Jawa. Sebagai kota niaga yang penting, Barus dihuni oleh orang dari pelbagai penjuru dunia. Ada orang Batak, dan masyarakat pesisir Barat Sumatera, Jawa dan pendatang dari India dan Arab.
Orang China baru muncul dalam kelompok kecil, pada abad ke-17.
Sejak pertengahan abad ke-7 sampai ke-16, Barus adalah sebuah kerajaan Batak yang diperintah oleh marga Pasaribu dan mengalami proses indianisasi serta dibentuk oleh tradisi Hindu dan Budha. Malah menurut salah satu kronik kerajaan Batak, yang disebut Kronik Hulu (dari Dinasti Barus Hulu) yang dikumpulkan oleh Jane Drakard, orang Indialah yang mendirikan Barus. Kehadiran orang India tidak hanya berurusan dengan kapur barus, tetapi juga emas. Sebagian orang India di Barus diduga kuat adalah para pekerja tambang di Rejang Lebong, wilayah pedalaman Bengkulu yang merupakan wilayah kekuasaan Minangkabau. Barus sebagai koloni pedagang India ini didukung oleh penemuan prasasti Tamil (1088 M) yang menyebutkan tentang kelompok pedagang Ayyảvole yang tinggal di Barus pada jaman Lobu Tua. Dari penggalian di situs Lobu Tua diketahui bahwa Barus adalah sebuah Bandar internasional yang dihuni orang India Selatan dan Srilangka Utara. Setelah kedatangan kelompok ini, baru datang orang-orang Arab, Persia dan dari Jawa.
Upacara Adat Batak Toba |
Berkat jaringan kontaknya dengan wilayah pedalaman, Barus menjadi lokus pertemuan untuk kalangan pesisir dan juga pedalaman, dan dengan demikian menjadi pintu masuk untuk pengaruh tradisi India di wilayah pedalaman seperti halnya nampak dalam bahasa dan pemikiran Batak. Menurut Harry Parkin, Gagasan Shivastik masuk ke wilayah Batak sampai di Pantai Timur Danau Toba. Lebih dari satu millennium, Hinduisme dan Budhisme berpengaruh di Sumatera. Selain Barus, beberapa kerajaan penting lainnya yang menjadi pusat Hindu Budhisme adalah kerajaan Melayu di Jambi, Sriwijaya di Palembang, Kerajaan Aru di wilayah Belawan, Pannai di Padang Lawas dan Minangkabau dengan pusatnya di Pagaruyung, Sumatera Barat. Tidak ada statistik yang menunjukkan berapa banyak penganut Hindu dan Budha pada saat itu, tetapi patut diduga bahwa di pesisir Sumatera dan pusat-pusat Kerajaan cukup banyak penganutnya. Kenyataan itu hilang seperi tidak berbekas begitu proses islamisasi menjadi gencar sejak abad ke-13.
Moti Dinding Rumah Batak Toba |
Seiring dengan menguatnya proses islamisasi, satu persatu kerajaan Budha dan Hindu menjadi Islam. Muncul juga kesultanan Islam yang baru, seperti Aceh dan Malaka dalam pengislaman wilayah Nusantara. Tahun 1539, seorang panglima Aceh, Herodin Mohamet, yang merupakan ipar Sultan Aceh, ditempatkan di Kerajaan Barus. Herodin Mohamet diberi gelar oleh Sultan Aceh, Sultan Barus. Beberapa tahun kemudian, kerajaan Minangkabau dikalahkan dan dijadikan Islam. Pengaruh Aceh di Pantai Barat Sumatera menjangkau sampai Pariaman. Aceh menempatkan seorang panglima sebagai gubernur di pelabuhan-pelabuhan untuk menjaga pelabuhan dan melindungi interese Aceh.
Pada awal abad ke-19, Minangkabau berada dalam genggaman kaum Paderi, kelompok Islam radikal dari aliran Wahabi. Perang Paderi (1821-1835), tidak hanya menggetarkan wilayah Sumatera Barat tetapi juga merambah ke tanah Batak. Ribuan orang Batak dibunuh, termasuk pemimpinnya Sisingamangaraja X. Pada saat invasi tentara Paderi itu, puluhan ribu orang Mandailing, Tapanuli Selatan, diislamkan secara paksa. Proses pengislaman di wilayah ini berjalan terus dibawah pimpinan para Kali (dari bahasa Arab “qidi” yang berarti hakim) yang diangkat oleh tentara Paderi. Sekitar akhir abad ke-19, seluruh wilayah Mandailing dan sekitarnya telah menjadi Islam.
B. AWAL MULA MISI DI PULAU NIAS
Dari Pulau Penang ke Pulau Nias
Pulau Nias - Sumatera Utara |
Sejarawan A. Reid, menulis dalam majalah Belanda (1973) tentang orang-orang Perancis di Sumatera dan Malaysia dalam kurun waktu 1760-1870. Sejarawan lain adalah R. Cardon, pada tahun 1938 menulis tentang Gereja Katolik di wilayah Timur Jauh termasuk Keuskupan Malaka dalam kurun waktu 1511-1888. Keduanya mencatat bahwa pada bulan Maret 1832 telah tiba di Gunungsitoli dua orang misionaris Gereja Katolik bangsa Perancis. Mereka adalah Pastor Jean-Piere Vallon ( 7 Februari 1802-Juni 1832) dan Pastor Jean-Laurent Bérard ( 15 Desember 1802-Juni 1832). Sayang sekali bahwa pada bulan Juni tahun 1832 itu juga mereka meninggal dunia, diduga karena serangan malaria. Pada batu nisan mereka di Gereja Katolik St. Maria Bunda Para Bangsa Gunungsitoli (yang sudah dibongkar tahun 1991), tercatat bahwa keduanya menghembuskan nafas terakhirnya di desa “Lasara”, yang sulit dikenal persis lokasinya sekarang.
Pastor & Suster 1920 1940 |
Pastor Boucho sangat berkeinginan ke Nias, namun mimpi itu tidak pernah terwujud. Dia diberi tugas mendidik calon imam di Penang. Misi ke Pulau Nias akhirnya dipercayakan kepada Pastor Vallon dan Bérard, yang ditemani oleh pasangan suami-istri Nias, bernama Fransisco dan Sophie. Pada tanggal 14 Desember 1931 mereka meninggalkan Penang dengan menumpang kapal layar bersama dengan 7 orang Aceh yang baru selesai naik haji di Mekah. Dari pelabuhan Aceh, mereka menuju pelabuhan Sibolga. Di Sibolga mereka berpisah, Pastor Vallon berangkat ke Nias sedang Bérard menuju Padang.
Bahasa sudah mulai dipelajari, ada katekis yang mendampingi tapi ternyata faktor lingkungan setempat tidak mendukung keberhasilan usaha penginjilan pertama di Pulau Nias. Pastor Vallon meninggal hanya 3 bulan setelah tiba di Gunungsitoli. Pastor Bérard datang dari Padang setelah mendengar berita kematian temannya. Pastor Bérard sendiri pun meninggal tidak lama sesudah tiba di Gunungsitoli. Keduanya baru saja berumur 30 tahun.
Misi Kapusin Belanda
Salib San Damiano |
Misi Kapusin Jerman
Salib Tao |
Babak baru mulai tanggal 27 Maret 1955 dengan datangnya keenam misionaris Kapusin Jerman. Mereka adalah: Uskup Gratianus Grimm, P. Romanus Jansen, P. Norbert Kurzen, Br. Yoachim Berdold, Br. Pankatius Stamfpl dan Br. Blasius Kettenhofen. Merekalah pionir dari antara para misionaris Kapusin Jerman yang menyusul hingga tahun 1978. Sedangkan Misionaris Kapusin dari Tirol (Italia Utara), datang membantu sejak tahun 1962.
Bendera Indonesia - Jerman |
C. SEJARAH GEREJA PAROKI KATEDRAL ST. THERESIA LISIEUX
St. Theresia Lisieux |
Permulaan Misi di Kota Sibolga
Pada 12 Maret 1929, P. Chrysologus Timmermans OFM Cap, tiba di Sibolga dan menjadi pastor pertama yang berkarya di tanah Batak. Pada permulaan, dia tinggal di rumah keluarga Van Pinksteren, seorang pegawai Belanda yang bertugas di Sibolga, selama 10 minggu. Setelah itu, P. Chrysologus Timmermans, membeli sebuah rumah di Tamarindalaan di belakang penjara. Rumah yang baru dibeli ini, direhap seadanya, sehingga menjadi tempat tinggal, tempat kerja dan kapel. Pada hari Raya Pentakosta, 19 Mei 1929, rumah dan kapel ini diberkati. Di rumah sederhana inilah komunitas pertama umat katolik di Sibolga mulai berkumpul dan beribadat. Pada permulaan, ada sekitar 70 orang umat Katolik, hampir semuanya adalah orang Eropa dan sedikit orang Tionghoa.
Gereja Katolik Katedral Sibolga |
Pada permulaan tahun 1932, P. C. Timmermans, mulai menjejaki untuk membangun sebuah gedung Gereja untuk umat Katolik Sibolga yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Maka pada tanggal 23 Februari mulailah pembangun rumah pastor dan Gereja. Dalam musim kemarau, tanggal 11 September 1932, gedung gereja dan pastoran diberkati oleh Prefek Apostolik Padang, Mattias Brans, dan pastoran mulai dipakai. Dengan demikian, diletakkanlah dasar bagi Gereja Katolik di Sibolga, yang kemudian menjadi titik pusat Prefektur Apostolik Sibolga. Pada saat ini, umat di kota Sibolga sudah berjumlah 223 orang, terdiri dari 125 orang Eropa, 84 orang China dan 14 orang Batak. Pada awal tahun 1942, sudah ada 603 orang umat Katolik di dalam kota Sibolga, terdiri dari 355 orang China, 191 orang Batak dan 57 orang Eropah.
P. Chrysologus Timmermans, sangat berkeinginan untuk mengembangkan misi di luar kota Sibolga. Sejak kedatangannya pada tahun 1929, banyak orang Batak, baik yang beragama asli maupun yang sudah dibaptis ke dalam Gereja Protestan, selalu menghubunginya dan ingin menjadi Katolik. Pada tahun 1933, P. Chrysologus Timmermans mendapatkan ijin dari Pemerintah Kolonial Belanda di Jakarta, untuk bekerja di luar kota Sibolga. Maka mulailah P. Chrysologus Timmermans mengunjungi kampung-kampung orang Batak, mulai dari Pangaribuan sampai Purbatua di Tapanuli Selatan.
Masa Pendudukan Jepang
Bendera Tentara Jepang Dai Nippon |
Pada tahun 1942 terjadilah yang sudah beberapa waktu dikhawatirkan, yakni tentara Jepang menduduki tanah air Indonesia, termasuk daerah Sumatera. Pada tanggal 15 Maret 1942, kota Sibolga diduduki oleh tentara Jepang, misionaris-minionaris dikenakan tahanan rumah dan pada 13 Mei 1942, mereka semua diangkut ke kamp interniran. Dengan situasi ini, maka misi Gereja Katolik di Sumatera mengalami tantangan besar. Tidak berapa lama setelah para misionaris ditangkap dan diinternir, sebagian dari harta benda misi disita. Sekolah-sekolah kepunyaan misi, ditutup. Para suster masih diperbolehkan tinggal dalam biara, tetapi mereka dilarang keluar biara.
Sebelum dipaksa meninggalkan kota Sibolga, P. Chrysologus Timmermans menyerahkan ‘penggembalaan’ umat Katolik Sibolga dan sekitarnya kepada Katekis Paulus Guyang Siregar dan memberikan petunjuk-petunjuk praktis. Pada bulan Mei 1942, Katekis Paulus Guyang Siregar dan beberapa temannya mengikuti pertemuan di Balige, untuk membicarakan urusan misi di seluruh Sumatera Utara selama tidak ada para pastor. Sebanyak 15 orang katekis diangkat dan ditugaskan untuk menanggungjawabi beberapa Distrik dan diberikan kewenangan penuh untuk melaksanakan reksa pastoral: menerimakan Sakramen Pembaptisan, meneguhkan perkawinan, dll. Seluruh Distrik, wilayah bakal Keuskupan Sibolga ini, digabungkan ke dalam “Huria Roma Katolik Tapanuli dan Nias/Sumatera Timur dan Aceh” dengan pusatnya di Balige. Sebagai ketua ditunjuk Joseph Bonifacius Panggabean (Balige), sekretaris katekis Paulus Guyang Siregar (Sibolga) dan Kepulauan Nias ditangani oleh Katekis Henrikus Sohiro Dachi. Akan tetapi, badan koordinasi ini berjalan tidak terlalu mulus, karena ada perpecahan di kalangan para katekis sendiri.
Tentara Jepang |
Di antara tentara Jepang yang menduduki kota Sibolga, ada beberapa yang beragama Katolik, atas jasa mereka maka gedung Gereja Katolik Sibolga tidak disita seperti beberapa gedung gereja Kristen lain. Dengan demikian, ibadat setiap hari Minggu tanpa imam, tetap bisa dilaksanakan, walaupun tetap dalam kecemasan karena banyak orang Tionghoa tidak berani ke Gereja karena takut terhadap tentara Jepang. Setelah Jepang menyerah, keadaan masih belum normal. Para misionaris belum dapat kembali ke tempat tugasnya karena kekacauan politik. Gedung-gedung gereja yang yang selama ini dikuasai tentara pendudukan Jepang, diambil-alih oleh tentara nasional, karena menurut mereka, gedung-gedung ini adalah harta milik musuh.
Kedatangan 2 Orang Pastor Dari Jawa
Pada awal tahun 1947, atas permohonan dari Vikaris Apostolik Medan, Mgr. Brans, kepada uskup di Semarang, diutuslah seorang pastor bernama Pastor Sutapanitra SJ. untuk melayani di daerah Batak dan Sibolga. Pada tanggal 18 Juli 1948, datang lagi seorang pastor yakni Pastor A. Pudjahandaja dari Sumatera Barat dan bertempat di Sibolga. Dengan kehadiran 2 pastor ini, situasi pelayanan mulai pulih, Paroki Sibolga diorganisir lebih baik, dipilih Anggota Dewan Gereja yang baru, sekolah rakyat dibuka kembali, dan stasi-stasi dikunjungi. Pada tanggal 15 Augustus 1948, “Huria Katolik Tapanuli” dibentuk dan berkedudukan di kota Sibolga.
Pada bulan Maret 1949, P. Pudjahandaja, meninggalkan Tapanuli dan beberapa bulan kemudian, para misionaris datang. Dengan kedatangan para misionaris, maka situasi pelayanan semakin kondusif, walaupun kegiatan misi masih terbatas di kota Sibolga karena daerah-daerah belum aman. Para suster juga sudah mulai diijinkan kembali ke Sibolga dan membuka kembali sekolah yang sebelumnya sudah ditutup dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Barulah pada tahun 1950, para misionaris diberi kebebasan untuk mengunjungi daerah-daerah. Pada waktu itu ada 2 orang misionaris, satu orang betugas di kota Sibolga dan satu orang bertugas di stasi-stasi, khususnya di Kecamatan Sorkam dan Barus, di mana terdapat banyak stasi.
Berdirinya Prefektur Apostolik Sibolga
Pada tanggal 17 November 1959, Prefektur Apostolik Sibolga dibentuk dengan Prefektur Apostolik yang pertama adalah Uskup Grimm yang dilantik pada tanggal 15 Augustus 1960, dan Sibolga menjadi pusat wilayah Gerejani yang baru ini. Wilayah Prefektur Apostolik Sibolga meliputi sebagian besar bekas Keresidenan Tapanuli di wilayah Pantai Barat Sumatera Utara serta kepulauan Nias. Gereja Sibolga menjadi pusat Prefektur Apostolik yang baru didirikan ini. Pada tanggal 8 Februari 1969, Uskup Grimm telah mengajukan permohonan untuk meletakkan jabatannya sebagai Administrator Prefektur Sibolga karena faktor usia.
Pada tanggal 27 Juni 1971, Pastor Bernhard Willing, dilantik menjadi Administrator Prefektur Apostolik Sibolga yang baru, mengantikan Mgr. Petrus Gratian Grimm. Pelantikan yang seyogianya dilaksanakan oleh Mgr. F. Van Den Hurk, uskup agung Medan, tetapi di tengah perjalanan beliau jatuh sakit, akhirnya Mgr. F. Van Den Hurk, mengutus Pater Dr. Gonzalvus Snijders, Direktur Seminari Agung di Pematangsiantar, untuk menyampaikan amanat sekaligus mewakilinya memimpin upacara pelantikan tersebut.
Pada tanggal 11 November 1978, Pastor Anicetus Sinaga OFM Cap. diangkat menjadi Prefektur Apostolik Sibolga yang ketiga, menggantikan Pastor Bernhard Willing. Pastor Anicetus Bonsu Sinaga dilantik oleh Uskup Agung Medan, Mgr. Pius Datubara, pada tanggal 28 Januari 1979. Dalam suatu rapat pastoral pada bulan Augustus 1979, para pastor sepakat untuk mengirim permohonan resmi ke Roma agar Prefektur Apostolik Sibolga ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan.
Berdirinya Keuskupan Sibolga
Pada tanggal 18 November 1980, permohonan para pastor ini disetujui. Prefektur Apostolik Sibolga resmi menjadi Keuskupan dan P. Anicetus Bonsu Sinaga ditetapkan menjadi uskup pertama dan ditahbiskan oleh Paus Johanes Paulus II, pada tanggal 6 Januari 1980 di Roma. Selama 24 tahun memimpin Keuskupan Sibolga, Mgr. Anicetus Bonsu Sinaga, telah memfokuskan titik penggembalaannya pada tiga program utama pastoral, yakni: 1). Pembangunan fisik, 2). Pembinaan umat dan 3). Pembinaan tenaga inti Gereja. Beberapa Tarekat religius diundang untuk mengabdi di Keuskupan Sibolga, yakni: Suster KSFL (25 Januari 1980), Xaverian (1980), Suster FCJM (4 Augustus 1982), OSC (1990) dan SVD (1996).
Pada tanggal 1 Maret 2004, Mgr. Anicetus Bonsu Sinaga berpindah ke Medan menjadi Uskup Koajutor Keuskupan Agung Medan. P. Barnabas Winkler, OFM Cap, diangkat menjadi Administrator Keuskupan Sibolga, sampai dengan tahun 2007. Pada tanggal 20 Mei 2007, Pastor Ludovicus Simanullang OFM Cap, ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Sibolga. Tahun berikutnya, Mgr. Ludovicus mengumumkan akan diadakannya Sinode I Keuskupan Sibolga yang dijalankan bersamaan dengan Perayaan Yubileum 50 tahun Prefektur Apostolik Sibolga sebagai wilayah Gerejani sendiri.
Perayaan Yubileum dibuka di Gereja Kon-Katedral St. Maria Gunungsitoli pada tanggal 17 November 2008. Selama 1 tahun semua petugas pastoral dan umat dilibatkan dalam satu proses panjang membuat analisis tentang situasi pastoral di komunitasnya masing-masing, merefleksikan kehendak Tuhan dalam situasi konkrit Keuskupan Sibolga dan menetapkan tanggapan pastoral yang niscaya. Proses ini berpuncak dalam Sinode Keuskupan Sibolga yang berlangsung di Mela pada tanggal 12-16 November 2009, dan perayaan puncak Yubileum di lapangan umum Simare-mare pada tanggal 17 November 2009. Dalam Sinode Keuskupan ditetapkan perencanaan strategis pastoral ini yang merupakan pegangan untuk semua anggota komunitas Keuskupan Sibolga dalam melaksanakan karya pastoral selama kurun waktu 2010-2014. [Leo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar