Tribunal Perkawinan Keuskupan
TRIBUNAL merupakan suatu lembaga peradilan di dalam Gereja Katolik, yang berwenang menangani banyak perkara dalam Gereja, yang pembentukan dan pelaksanaannya diatur oleh Hukum Gereja (Kitab Hukum Kanonik). Lembaga ini merupakan tempat diupayakannya penyelesaian suatu perkara menurut ketentuan hukum gerejawi. Perkara yang dimaksud berkenaan dengan keadilan, penuntutan hak, pemenuhan kewajiban, serta akibat yuridis yang menyertainya. Hal ini merupakan wujud / bentuk pelaksanaan konkrit kuasa yudisial yang dimiliki Gereja atas hal-hal spiritual, hal-hal yang berkenaan dengannya, dan pelanggaran terhadap Hukum Gereja (kan. 1401).
Pada dasarnya Tribunal berwenang menangani banyak perkara, namun dalam realitasnya di Indonesia, masalah-masalah yang ditangani oleh Tribunal, masih terbatas pada masalah perkawinan. Oleh karena itu, Tribunal ini lebih tepat disebut sebagai Tribunal Perkawinan. Tribunal Perkawinan menangani masalah-masalah perkawinan, menyangkut validitas atau sah tidaknya sebuah perkawinan. Aspek-aspek perkawinan lain seperti hak akan pengasuhan anak, kewajiban memberi nafkah terhadap anak atau eks pasangan, dan pembagian warisan atau harta kekayaan lain, dibiarkan menjadi kewenangan Pengadilan Sipil. Terhadap aspek-aspek yang terakhir itu Gereja akan menanganinya hanya apabila diperlukan dan secara insidental (kan. 1672).
Sah tidaknya sebuah perkawinan, dilihat dari 3 hal, yakni (Lih. kanon 1057§1) :
1. Materia Sacramenti (subyek), yakni bahwa perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan oleh dua orang yang berbeda seksualitas ( laki-laki dan perempuan) yang mampu secara hukum. Mampu secara hukum berarti bahwa keduanya tidak sedang terkena halangan nikah, baik bersifat kodrati maupun gerejawi, sebagaimana ditentukan dalam kanon 1083-1094;.
2. Forma Sacramenti (konsensus), yakni menyangkut konsensus atau kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah merupakan tindakan kemauan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling memberikan diri dan menerima yang lain untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (Kanon 1057§2). Ada 3 sifat konsensus yang selalu harus ada, supaya perkawinan menjadi sah, yakni:
a. sungguh-sungguh (verus), menikah dengan serius, tidak simulatif atau berpura-pura, kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata ((Kan. 1101§1);
b. penuh (plenus), menikah tanpa mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan (Kan. 1101§2), bahwa perkawinan merupakan persekutuan seluruh hidup dan bertujuan untuk kesejahteraan pasangan serta kelahiran dan pendidikan anak;
c. bebas (liber), menikah tanpa paksaan dan ketakutan besar.
3. Forma Canonica (tata peneguhan), bahwa setiap orang katolik hanya dapat menikah secara sah gerejawi di hadapan otoritas Gereja yang berwenang dan dua orang saksi (Kanon 1108), kecuali telah mendapat dispensasi untuk bisa menikah di hadapan petugas resmi di luar Gereja (lih. Kan. 1127§2).
Di dalam Keuskupan, Tribunal berada di bawah otoritas Uskup Diosesan, karena dialah hakim instansi pertama (Kan 1419). Sebagai hakim utama yg memiliki kuasa yudisial di dalam keuskupan yang dipercayakan kepadanya, kuasa yudisial dapat dijalankannya sendiri atau melalui orang lain, yakni Vicarius Iudicialis dan para hakim (Kan 1420; 135; 391§3). Bersama dengan Vicarius Iudicial dan para hakim, uskup diosesan membentuk suatu Tribunal Keuskupan, yang menangani perkara-perkara yang tidak direservasi bagi dirinya sendiri.
Pendirian Tribunal Perkawinan ini merupakan suatu keharusan seiring dengan keberadaan Uskup diosesan. Tribunal perkawinan ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan Gereja Partikular, karena termasuk salah satu bentuk pelayanan hukum dan pastoral bagi umat beriman di keuskupan. Dalam praksis pelayanan Tribunal perkawinan keuskupan, para hakim berusaha untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang mengalami persoalan hukum dalam hidup perkawinannya, dengan harapan mereka mendapatkan solusi yuridis yang memungkinkannya mendapatkan haknya sebagai warga Gereja (sejauh dimungkinkan oleh hukum). Pelayanan yuridis ini harus sesuai dengan prosedur hukum, khususnya sebagaimana diatur dalam norma-norma umum (kanon 1055-1165) dan norma-norma prosedural (kanon 1671-1716).
Tribunal Perkawinan Keuskupan mewujudkan fungsi dan tujuan Gereja menjaga dan melindungi martabat perkawinan (dignitas matrimonii), kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum), dan kebaikan Gereja (bonum ecclesiae) secara umum. Berkenaan dengan martabat perkawinan, Tribunal mengupayakan terpeliharanya keutuhan ajaran iman dan moral Gereja tentang hakekat, ciri hakiki, dan tujuan perkawinan. Hakekat perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae). Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan dan ketidak-dapat-ceraian (unitas et indissolubilitas). Sedangkan tujuan perkawinan adalah kebaikan suami-isteri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis).
Untuk kesejahteraan suami-isteri, Tribunal mengupayakan penyelesaian kontroversi antara hak dan kewajiban suami-isteri secara timbal-balik. Kontroversi yang sering terjadi adalah hal pemberian dan penerimaan diri, dukungan, dan jaminan akan persamaan derajat, eksklusivitas hubungan, dan kemantapan atau keberlangsungan hubungan. Berkenaan dengan kebaikan Gereja, Tribunal mengupayakan terciptanya tatanan hidup bersama yang harmonis dan terhindarkannya skandal. Konkritnya, Tribunal berupaya menyelesaikan kontroversi yang biasa terjadi, yaitu pelanggaran atas nilai-nilai atau norma perkawinan yang benar, baik, dan indah bagi masyarakat. Menghindarkan skandal berarti mencegah timbulnya keheranan, pertanyaan, atau kebingungan atas suatu pelanggaran yang terjadi dalam komunitas gerejawi atau masyarakat umum.