Hari Minggu
Biasa XVIII, Tahun C
Para Saudara,
Kita
pernah mendengar nama Max Weber;
tokoh ilmu sosiologi modern, yang mana pikiran-pikirannya tetap menjadi acuan
dewasa ini, khususnya menyangkut teori-teori ilmu sosial. Salah satu gagasannya
yang amat terkenal adalah teori terjadinya perubahan rasionalitas manusia.
Menurut Max Weber, ada 3 lapisan perkembangan manusia, yakni: 1). masyarakat tradisional, 2). masyarakat
berkembang dan 3). masyarakat modern. Menuru Max Weber, Masyarakat tradisional,
level yang terendah, sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau magis, ilmu
hitam, jimat-jimat, penyembahan roh leluhur, pelet, dlsb.
Masyarakat berkembang, level kedua, ditandai dengan ketertarikan pada
ritus-ritus agama, lalu sangat menggilai hasil-hasil teknologi dari Negara-negara
maju. Kita berada di level ini, maka benar alat-alat teknologi canggih seperti:
handphone, computer, tv, dlsb, sangat memikat kita. Handphone misalnya, lebih
sebagai gaya hidup daripada sebagai kebutuhan. Dengan demikian, negara
berkembang menjadi lahan subur bagi hasil teknologi Negara-negara maju. Sedangkan
pada masyarakat modern, level yang
terakhir, sangat dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan sekularisme. Ini terjadi di
Negara-negara Eropa. Pada masyarakat modern, ketika ilmu pengetahuan menjadi
sistim kepercayaan yang dominan, maka pesona magis dan agama menjadi hilang.
Para Saudara,
Kita adalah masyarakat berkembang. Dan menurut
tesis Max Weber, kita adalah penikmat benda-benda dan alat-alat teknologi
negara maju. Kalau kita memiliki itu
karena kebutuhan, tentu tidak masalah. Tetapi kalau hanya sekedar mode, dan
ikut arus perubahan, itu namanya penjajahan iptek atas otonomi manusia; atau
penjajahan harta benda atas hidup manusia.
Inilah yang dikritik Yesus pada orang kaya dalam Injil hari ini: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap
segala ketamakan! Sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya
tidaklah tergantung dari kekayaannya itu”.
Kitab Pengkotbah, dalam bacaan I tadi, mengingatkan
kita bahwa segala sesuatu adalah sia-sia. Mengapa? Karena segala sesuatu
yang kita kerjakan dengan susah payah mau tidak mau akan kita wariskan kepada
orang lain di saat ajal kita telah tiba. Dan kita tidak tahu sama sekali apakah
usaha yang sudah kita mulai itu akan diteruskan atau tidak. Itu sungguh di luar
kuasa kita. Kata-kata kitab Pengkotbah ini, mau mengatakan bahwa harta
benda atau kekayaan kita di dunia ini sifatnya relatif, terbatas dan tidak
membawa kita pada keabadian. Karena
itu, kita harus bisa mengambil jarak terhadapnya, jangan berlaku tamak dan
jangan kita mabuk atau dikuasai olehnya. Paulus,
dalam bacaan II tadi, mengingatkan, bahwa kita ini telah dibangkitkan bersama
dengan Kristus, karena itu yang kita pikirkan adalah perkara di atas, bukan
yang di bumi.
Para Saudara,
Pertanyaan
kita adalah: bukankah hati dan pikiran kita sehari-hari lebih banyak untuk memikirkan pekerjaan dan harta kita? Dan
tampaknya kita tidak bisa lari dari kenyataan ini. Yang perlu kita waspadai
adalah kata-kata dari Max Weber tadi, bahwa ketika ilmu pengetahuan menjadi
sistim kepercayaan yang dominan, pesona agama
menjadi hilang. Itulah fenomena sekarang di negara-negara maju
atau Eropah: banyak Gereja megah yang dibangun pada abad pertengahan, kini
menjadi tempat wisata, karena tidak ada umat yang bergereja. Hari Minggu
menjadi hari untuk libur, rekreasi, pesta keluarga, bersenang-senang, dlsb.
Itulah situasi masyarakat yang sudah dikuasai oleh iptek dan sekularisme.
Tentu kita tidak mau jatuh dalam situasi seperti itu.
Bagi kita umat beriman, harta benda itu sifatnya relatif karena memang pada
saatnya akan berlalu dan sia-sia. Maka
marilah kita berusaha menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kaya di hadapan Tuhan,
dilukiskan dengan baik oleh rasul Paulus, dalam bacaan II tadi, “…Kamu telah
menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru
yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar…”. (
Sibolga / Katedral / 04-08-2013 / Sam ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar