Minggu, 11 November 2012

Pemberian Dengan Tulus Hati



Hari Minggu Biasa XXXII Tahun B

Para saudara,
Pada hari raya Idul Adha, hari raya Islam, tanggal 28 Oktober lalu, ada berita yang mengejutkan banyak orang karena disiarkan berkali-kali di televisi dan menghiasi beberapa halaman surat kabar, yakni: Mama Yati, umur 64 tahun, seorang pemulung barang-barang bekas, yang tinggal di Tebet, Jakarta, memberikan 2 ekor sapi sebagai hewan kurban yang disalurkan melalui salah satu Masjid di Jakarta. Menurut pengakuan Mama Yati, sudah 2 tahun mulai ada niatnya untuk menyumbangkan sapi untuk daging kurban. Mulai saat itu ia mulai menabung dari penghasilannya mengumpulkan barang bekas. Ia rela menunda merehap gubuk mereka yang sudah rewot. Dan 1 hari sebelum Idul Adha, ia menjual perhiasannya untuk mencukupi uang tabungannya, supaya bisa membeli 2 ekor sapi.
Ketika diwawancarai oleh wartawan TVOne, Mama Yati, berkata: “Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Selama bisa berbuat baik, ya kita jalankan saja”. Apa yang dilakukan oleh Mama Yati, bagi orang-orang berduit, tidaklah seberapa. Tetapi karena Mama Yati seorang pemulung, sepanjang hari hanya mengais barang-barang bekas dan pendapatan yang diperoleh di situ sekitar Rp 300 / bulan, pemberian Mama Yati itu menjadi sangat berharga dan bernilai, karena ia memberi dengan niat suci dan memberi dari kekurangannya.


Para saudara,
            Hal yang hampir sama kita dengar dalam bacaan I dan Injil tadi. Dalam bacaan I tadi, kita mendengar kisah seorang janda miskin di Sarfat. Tampaknya ia sudah sangat putus asa, roti sudah tidak ada lagi di rumah, hanya ada segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Lalu janda itu berkata kepada nabi Elia: “sekarang aku pulang ke rumah mengolah tepung dan minyak itu untukku dan  anakku dan setelah kami memakannya kami akan mati”. Kemudian nabi Elia meminta supaya dengan tepung itu, dibuatkan untuk dia  sepotong roti bundar kecil. Dengan senang hati, janda miskin itu, membuat seperti yang diminta Elia. Janda miskin itu, masih rela berbagi dari kekurangannya kepada nabi Elia, sekalipun dengan itu, mereka tidak mempunyai makanan lagi.
Hal yang sama juga dapat kita saksikan dalam bacaan Injil tadi, takkala Yesus sedang duduk melihat orang-orang yang memberi persembahan dalam sebuah peti persembahan. Di tengah kerumunan orang-orang yang memberi persembaan itu, tampaklah seorang janda miskin, yang hanya mampu mempersembahkan dua peser, yang nilainya tak lebih dari    Rp 100 ke dalam peti persembahan itu. Lalu Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin itu memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan itu. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya”.

Para saudara,
Kisah janda miskin di Sarfat, dalam bacaan I tadi, walaupun sangat miskin tapi masih mampu mengolah  makanan bagi nabi Elia; dan kisah janda miskin yang memberikan persembahan di Bait Allah; serta kisah Mama Yati, si pemulung miskin  dalam cerita tadi, menandakan bahwa sesungguhnya, orang-orang yang berhati emas, selalu ada, mulai dari zaman dulu hingga dewasa ini, walaupun jumlah mereka tidak banyak.
Kisah ketiga ibu miskin ini, juga menjadi pelajaran yang baik bagi kita bahwa rupanya untuk menjadi seorang penderma, tidak perlu menunggu sampai kita cukup kaya. Sebab kalau menunggu-nunggu sampai kaya, kita tidak akan pernah bisa mengulurkan tangan kepada sesama, karena jarang sekali orang yang mengaku berkecukupan dan selalu merasa diri masih kurang. Kita belajar dari ketiga ibu yang luar biasa tadi, dua dari kitab suci dan satu dari kehidupan nyata: mereka mempersembahkan dan memberikan  sesuatu dengan tulus hati dan penuh pengurbanan.
Tentu saja, kisah sejenis masih banyak ditemukan di mana-mana, termasuk di Paroki kita ini. Takkala kita dengan penuh semangat menunjang berbagai kegiatan:  melalui sumbangan tenaga, pikiran dan materi, keinginan untuk berbagi itu menjadi tampak. Ketulusan hati untuk memberi atau untuk mendermakan sesuatu, akan tampak jika kita melakukan itu bukan karena terpaksa, dan tidak ada penyesalan  sesudahnya, serta tidak menuntut berlebih-lebihan kepada pihak yang diberi. Kita mendermakan sesuatu, bukan karena mencari popularitas atau  nama, tapi demi kemuliaan nama Tuhan. Bagaimana  kita secara pribadi?. Marilah kita merenungkannya. (Katedral /  P. Sam GulĂ´/11-11-2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar