Hari Minggu
Biasa XXXII Tahun B
Para saudara,
Pada
hari raya Idul Adha, hari raya Islam, tanggal 28 Oktober lalu, ada berita yang
mengejutkan banyak orang karena disiarkan berkali-kali di televisi dan
menghiasi beberapa halaman surat kabar, yakni: Mama Yati, umur 64 tahun,
seorang pemulung barang-barang bekas, yang tinggal di Tebet, Jakarta,
memberikan 2 ekor sapi sebagai hewan kurban yang disalurkan melalui salah satu Masjid
di Jakarta. Menurut pengakuan Mama Yati, sudah 2 tahun mulai ada niatnya untuk
menyumbangkan sapi untuk daging kurban. Mulai saat itu ia mulai menabung dari
penghasilannya mengumpulkan barang bekas. Ia rela menunda merehap gubuk mereka
yang sudah rewot. Dan 1 hari sebelum Idul Adha, ia menjual perhiasannya untuk mencukupi
uang tabungannya, supaya bisa membeli 2 ekor sapi.
Ketika diwawancarai oleh wartawan TVOne, Mama Yati, berkata:
“Kita tidak tahu sampai kapan kita
hidup. Selama bisa berbuat baik, ya kita jalankan saja”. Apa yang dilakukan
oleh Mama Yati, bagi orang-orang berduit, tidaklah seberapa. Tetapi
karena Mama Yati seorang pemulung, sepanjang hari hanya mengais barang-barang
bekas dan pendapatan yang diperoleh di situ sekitar Rp 300 / bulan, pemberian Mama
Yati itu menjadi sangat berharga dan bernilai, karena ia memberi dengan niat
suci dan memberi dari kekurangannya.
Para saudara,
Hal yang hampir sama kita dengar
dalam bacaan I dan Injil tadi. Dalam bacaan I tadi, kita mendengar kisah
seorang janda miskin di Sarfat. Tampaknya ia sudah sangat putus asa, roti sudah
tidak ada lagi di rumah, hanya ada segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit
minyak dalam buli-buli. Lalu janda itu berkata kepada nabi Elia: “sekarang aku
pulang ke rumah mengolah tepung dan minyak itu untukku dan anakku dan setelah kami memakannya kami akan
mati”. Kemudian nabi Elia meminta supaya dengan tepung itu, dibuatkan untuk
dia sepotong roti bundar kecil. Dengan
senang hati, janda miskin itu, membuat seperti yang diminta Elia. Janda miskin
itu, masih rela berbagi dari kekurangannya kepada nabi Elia, sekalipun dengan
itu, mereka tidak mempunyai makanan lagi.
Hal
yang sama juga dapat kita saksikan dalam bacaan Injil tadi, takkala Yesus
sedang duduk melihat orang-orang yang memberi persembahan dalam sebuah peti
persembahan. Di tengah kerumunan orang-orang yang memberi persembaan itu,
tampaklah seorang janda miskin, yang hanya mampu mempersembahkan dua peser,
yang nilainya tak lebih dari Rp 100 ke
dalam peti persembahan itu. Lalu Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda
miskin itu memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke
dalam peti persembahan itu. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya,
tetapi janda ini memberi dari kekurangannya”.
Para saudara,
Kisah
janda miskin di Sarfat, dalam bacaan I tadi, walaupun sangat miskin tapi masih
mampu mengolah makanan bagi nabi Elia; dan
kisah janda miskin yang memberikan persembahan di Bait Allah; serta kisah Mama
Yati, si pemulung miskin dalam cerita
tadi, menandakan bahwa sesungguhnya, orang-orang yang berhati emas, selalu ada,
mulai dari zaman dulu hingga dewasa ini, walaupun jumlah mereka tidak banyak.
Kisah
ketiga ibu miskin ini, juga menjadi pelajaran yang baik bagi kita bahwa rupanya
untuk menjadi seorang penderma, tidak perlu menunggu sampai kita cukup kaya.
Sebab kalau menunggu-nunggu sampai kaya, kita tidak akan pernah bisa
mengulurkan tangan kepada sesama, karena jarang sekali orang yang mengaku
berkecukupan dan selalu merasa diri masih kurang. Kita belajar dari ketiga ibu yang luar biasa tadi, dua dari kitab
suci dan satu dari kehidupan nyata: mereka mempersembahkan dan memberikan sesuatu dengan tulus hati dan penuh
pengurbanan.
Tentu
saja, kisah sejenis masih banyak ditemukan di mana-mana, termasuk di Paroki
kita ini. Takkala kita dengan penuh semangat menunjang berbagai kegiatan: melalui sumbangan tenaga, pikiran dan materi,
keinginan untuk berbagi itu menjadi tampak. Ketulusan hati untuk memberi atau untuk mendermakan sesuatu, akan tampak
jika kita melakukan itu bukan karena terpaksa, dan tidak ada penyesalan sesudahnya, serta tidak menuntut berlebih-lebihan
kepada pihak yang diberi. Kita
mendermakan sesuatu, bukan karena mencari popularitas atau nama, tapi demi kemuliaan nama Tuhan.
Bagaimana kita secara pribadi?. Marilah
kita merenungkannya. (Katedral / P. Sam GulĂ´/11-11-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar