Para saudara,
Ada sepasang anak muda, yang sudah pacaran selama 3 tahun. Laki-laki beragama bukan Kristen sedangkan perempuan beragama katolik. Dalam banyak hal tampak mereka sangat cocok. Karena itu sudah mulai muncul keinginan untuk menikah. Suatu saat, sampailah mereka pada satu topik pembicaraan yang sangat pokok dan penting, yakni masalah agama. Sang perempuan, sebagai seorang katolik yang taat dan saleh, berusaha membujuk pacarnya, yang non Kristen, supaya mengikuti dia, masuk katolik, tapi yang laki-laki tidak mau, malah sebaliknya berusaha menarik si perempuan ke agamanya.
Pembicaraan mereka perihal masalah agama ini, menemui jalan buntu dan tidak ada titik temu. Dari pembicaraan topik yang satu inilah, keduanya mulai merasakan bahwa antara mereka ada satu perbedaan yang mengganjal dan sulit diperdamaikan, dan kalau toh perkawinan tetap dilangsungkan, pasti akan sulit mencapai keharmonisan dalam keluarga. Karena itu, meski berat dan menyakitkan, akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah secara baik-baik, sebelum melangkah lebih jauh.
Para saudara,
Keprihatinan yang luar biasa dan cinta yang mendalam, bisa mendorong seseorang untuk mengurbankan apa saja, demi yang dicintainya itu. Lebih lagi, bila ada iman yang mendalam, seseorang bisa memberikan dan mempertaruhkan apa saja demi imannya itu. Abraham, dalam bacaan I tadi, rela mempersembahkan anaknya terkasih, miliknya yang termahal, ketika Tuhan meminta kepadanya supaya dijadikan sebagai kurban persembahan. Ini terjadi karena Abraham seorang yang memiliki iman yang kuat dan mendalam kepada Tuhan dan iman ini melahirkan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Cinta Abraham kepada Tuhan, melebihi cintanya kepada anaknya sendiri, maka ketika Tuhan meminta anaknya itu, tanpa banyak pikir, Abraham langsung membawa anaknya, Ishak, ke gunung Moria, melaksanakan perintah Tuhan.
Kita tahu juga bahwa Allah mengutus Yesus, Putra yang dikasihi-Nya untuk menebus dunia, juga karena cinta-Nya yang begitu besar kepada umat manusisa. Itu kita dengar dalam bacaan Injil tadi, “Inilah Putra kesayangan-Ku, dengarkanlah Dia”. Jadi Yesus adalah Putra kesayangan Allah, sama seperti Ishak adalah putra kesayangan Abraham. Tetapi biar pun demikian, Anak kesayangan itu harus dikorbankan demi keselamatan manusia. Tentang hal ini, Paulus, dalam bacaan II tadi, berkata, “Tuhan tidak menyayangkan Putra-Nya sendiri, tetapi menyerahkannya untuk kita semua”.
Para saudara,
Bagaimana dengan kita? Manusia agak lain. Manusia, apa bila mencintai, entah mencintai Tuhan dan sesama, masih penuh perhitungan. Ada orang di satu pihak berkata: “mau mengabdi”, tetapi di lain pihak, dia menuntut jaminan sosial yang tinggi. Ada banyak orang tidak ke Gereja pada hari Minggu dengan alasan, “tidak punya waktu”. Hanya dua jam untuk Tuhan tidak bisa kita berikan, padahal Tuhan telah memberi Putra-Nya yang terkasih dan Putra-Nya itu, telah memberikan seluruh hidup-Nya bagi kita. Apakah manusia sudah lebih mencintai hal-hal duniawi daripada mencintai Allah?
Sebagai orang berimana, kita mengalami titik-titik dimana kita harus menjatuhkan pilihan yang sering kali tidak ringan. Masa prapaskah merupakan masa yang baik untuk melatih kepekaan dalam pemilihan. Kepekaan memilih hal-hal atau perkara-perkara yang mengarah kepada Tuhan, yang lebih memajukan hidup kita sebagai orang berimana, daripada memilih hal-hal yang menjauhkan kita dari kasih Tuhan. Marilah kita bercermin kepada Abraham: harus memilih Tuhan meski harus mengorbankan anaknya; seperti Petrus yang akhirnya mengikuti Yesus yang bersengsara dan turun dari gunung Tabor yang sejuk dan damai; seperti gadis katolik tadi yang memilih Yesus dari pada pacarnya yang ganteng dan amat dia cintai; dan terlebih seperti Yesus sendiri, memilih melaksanakan kehendak Bapa, karena cinta-Nya yang tak terkatakan kepada manusia. ***(Katedral/P. Sam Gulô/04-02-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar