Hari Minggu
Biasa XXX Tahun B
Para saudara,
Konon
kabarnya, ada seorang gadis yang tinggal di daerah Perbatasan: ia sangat cantik
tetapi sayang matanya buta. Pada umur 17 tahun, ia pernah menderita sakit gigi,
kemudian kena infeksi lalu menyerang bagian saraf, yang membuatnya jadi buta. Orang
tuanya berusaha keras supaya putri mereka bisa sembuh. Jalan terakhir yang
ditempuh adalah operasi di Rumah Sakit. Dalam proses operasi mata ini, ia selalu
dibantu oleh seorang pemuda, yang selalu memberi semangat dan dorongan
kepadanya supaya tetap semangat. Tetapi sayang sekali, pemuda ini tampangnya
sangat jelek: mukanya bopeng, hidungnya pesek, dll.
Gadis buta ini sangat terkesan dengan pemuda ini,
sehingga ia jatuh hati kepada pemuda itu. Mereka pun
akhirnya saling jatuh cinta. Selama proses penyembuhan, sang pemuda antara gembira dan cemas. Cemas karena dia
berpikir setelah gadis itu bisa melihat nanti, pasti ia akan melihat tampangnya
yang jelek, dan dengan demikian akan meninggalkannya. Waktu gadis itu
sembuh dan dapat melihat, ia meluapkan kegembiraan hatinya dengan memeluk dan
mencium kekasihnya. Pemuda itu terharu dan berkata: “Saya kira sesudah engkau
melihat tampangku yang jelek, engkau akan meninggalkan saya”. Tetapi si gadis
menjawab: “Saya sudah melihat engkau
dengan HATI sebelum saya melihat engkau dengan mata”.
Para saudara,
Melihat
dengan HATI jauh lebih penting daripada melihat dengan mata. Hari Kamis yang
lalu, beberapa petugas pastoral kita mengikuti seminar dalam rangka Pembukaan
Tahun Iman. Ada muncul istilah dalam seminar itu: iman objektif dan iman
subjektif. Iman objektif adalah kebenaran iman yang tak terbantahkan, mis paham
tentang sakramen, Gereja, dlsb. Sedangkan iman subjektif adalah iman yang
berdasarkan pemahaman dangkal seseorang, mis orang yang berpendapat bahwa tidak
perlu ke Gereja pada hari Minggu, di rumah juga bisa berdoa. Dia tidak tahu
bahwa imannya itu dia terima dari Gereja dan harus dihayati serta dirayakan
dalam Gereja. Iman objektif bisa dibandingkan dengan melihat dengan hati, sedangkan
iman subjektif, bisa dibandingkan dengan melihat dengan mata.
Dalam bacaan Injil tadi, kita
mendengar kisah Bartimeus yang disembuhkan oleh Yesus. Bartimeus seorang buta,
ia tidak dapat melihat Yesus dengan matanya, tetapi dengan MATA HATINYA ia
percaya bahwa Yesus bisa berbuat sesuatu untuk dia. Karena itu ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”. Yesus memang menyembuhkan matanya. Ia dapat
melihat dunia. Yang menjadi pesan penting dalam kisah ini adalah: Bartimeus Percaya,
maka ia melihat Yesus, setelah itu ia mengikuti Yesus, mengikuti Tuhan.
Para saudara,
Bacaan
pertama tadi, konteksnya adalah kehidupan bangsa Israel yang menderita di
daerah pembuangan, Babel. Ini menjadi masa gelap bagi sejarah bangsa Israel.
Mereka patah semangat dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tetapi bagi nabi
Yeremia, tidak demikian. Nabi Yeremia, bisa melihat dengan mata hatinya, dengan mata religiusnya, bahwa ada harapan ke
depan jika Israel bertobat kepada Allah. Nabi Yeremia menubuatkan bahwa Allah sendiri yang akan memimpin mereka
kembali ke tanah airnya dan membuat mereka senang dan bahagia. Benar juga, kelak pada masa
pemerintahan Koresh, raja Persia itu, mengalahkan kerajaan Babel. Dengan
demikian, nubuat Yeremia itu menjadi terpenuhi: umat Israel diizinkan keluar
dari pembuangan dan pulang ke negerinya.
Dalam
banyak hal kita pun buta, seperti gadis
dalam cerita tadi dan seperti Bartimeus. Kita buta: kadang tidak bisa
membedakan mana yang benar, layak dan pantas, dan mana yang salah serta tidak
semestinya. Pada hari Minggu: sebaiknya pergi ke Gereja atau jalan-jalan, ikut
pesta adat dan kesenangan pribadi. Kalau
mengikuti perayaan misa di Gereja: sebaiknya berdoa dan mendengar Sabda Tuhan,
atau bicara-bicara dengan teman, keluar masuk serta sibuk berhandphoneria. Kita mengikuti ajakan nabi Yeremia terhadap umat Israel supaya bertobat. Jika kita
bertobat maka keselamatan yang sama, yang telah dialami oleh umat Israel,
memperoleh kemerdekaannya, yakni kembali ke tanah airnya, juga merupakan
pengalaman kita. Dan akhirnya: kita butuh doa Bartimeus: “Yesus Putera Daud, kasihanilah aku! Rabuni, supaya aku dapat
melihat!”. Tidak pertama-tama melihat dengan mata fisik, tetapi melihat
dengan mata hati dan mata nurani, sehingga kita sanggup berjalan mengikuti
Yesus, mengikuti Tuhan dengan lebih
setia. (Katedral/P. Sam GulĂ´/28-10-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar