Minggu, 18 November 2012

K e d a t a n g a n T u h a n



Hari Minggu Biasa XXXIII Tahun B

Para saudara,
Hari Selasa lalu, secara tak sengaja, saya temukan harian Kompas, terbitan tahun 2003 di lantai 3 pastoran.  Saya tertarik dengan salah satu artikel, yang menghebohkan pada saat itu, yakni: Sekte Pondok Nabi atau Sekte Hari Kiamat di Bandung. Saya kira kita masih ingat peristiwa yang  memilukan. Sekte Pondok Nabi, salah satu aliran Pentakosta, dipimpin oleh Pdt. Mangapin Sibuea, percaya bahwa hari kiamat terjadi pada hari Senin, 10 Nopember 2003, pukul 15.00 Wib. Menurut keyakinan sekte ini, pada saat itu mereka akan ‘diangkat ke surga’. Anggota sekte ini, datang dari berbagai daerah, sudah menjual segala harta bendanya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan kuliahnya dan pergi ke Bandung mempersiapkan diri menyongsong ‘pengangkatan’ mereka.
Tetapi apa yang terjadi, sampai pada saat yang telah ditentukan, hari kiamat tidak terjadi, dan Tuhan tidak datang-datang juga mengangkat mereka. Sebanyak 283 orang anggota sekte itu, menjadi histeris dan terganggu jiwanya. Aparat keamanan bekerja sama dengan pihak Gereja setempat, terpaksa turun tangan. Dikhawatirkan, mereka akan bunuh diri bersama-sama, maka terpaksa dievakuasi untuk menjalani pembinaan mental dan rohani.

Minggu, 11 November 2012

Pemberian Dengan Tulus Hati



Hari Minggu Biasa XXXII Tahun B

Para saudara,
Pada hari raya Idul Adha, hari raya Islam, tanggal 28 Oktober lalu, ada berita yang mengejutkan banyak orang karena disiarkan berkali-kali di televisi dan menghiasi beberapa halaman surat kabar, yakni: Mama Yati, umur 64 tahun, seorang pemulung barang-barang bekas, yang tinggal di Tebet, Jakarta, memberikan 2 ekor sapi sebagai hewan kurban yang disalurkan melalui salah satu Masjid di Jakarta. Menurut pengakuan Mama Yati, sudah 2 tahun mulai ada niatnya untuk menyumbangkan sapi untuk daging kurban. Mulai saat itu ia mulai menabung dari penghasilannya mengumpulkan barang bekas. Ia rela menunda merehap gubuk mereka yang sudah rewot. Dan 1 hari sebelum Idul Adha, ia menjual perhiasannya untuk mencukupi uang tabungannya, supaya bisa membeli 2 ekor sapi.
Ketika diwawancarai oleh wartawan TVOne, Mama Yati, berkata: “Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Selama bisa berbuat baik, ya kita jalankan saja”. Apa yang dilakukan oleh Mama Yati, bagi orang-orang berduit, tidaklah seberapa. Tetapi karena Mama Yati seorang pemulung, sepanjang hari hanya mengais barang-barang bekas dan pendapatan yang diperoleh di situ sekitar Rp 300 / bulan, pemberian Mama Yati itu menjadi sangat berharga dan bernilai, karena ia memberi dengan niat suci dan memberi dari kekurangannya.

Minggu, 04 November 2012

Hukum Yang Terutama



Hari Minggu Biasa XXXI Tahun B

Para saudara,
Konon kabarnya, ada seorang atheis yang opname di rumah sakit katolik. Si atheis ini sangat terganggu dengan sebuah salib yang digantung di dinding kamarnya. Ia menyampaikan keberatan kepada pihak RS, tetapi pihak RS berkata bahwa itu sudah merupakan kebijakan, dan para pasien tidak berhak melarangnya. Si atheis itu pun pasrah. Dalam proses perawatannya, ada seorang perawat cantik yang selalu memperhatikan dia dan selalu berbicara tentang Tuhan Yesus. Si atheis itu hanya tertawa saja dan berkata: “Nona, hentikanlah ocehanmu, lebih baik anda berkisah tentang  langit biru atau  indahnya bintang-bintang di malam hari”, jauh lebih meringankan rasa sakitku.
Beberapa hari kemudian, kondisi si atheis itu makin parah: kedua ginjalnya rusak. Kalau tidak ada yang memberikan ginjalnya 1 buah saja, ia akan mati.  Suatu saat, perawat cantik itu mengatakan kepada si atheis itu bahwa ia rela memberi 1 buah ginjalnya untuk dicangkokkan pada pasien atheis itu.  Si atheis itu hampir tidak percaya akan kata-kata perawat itu. Dengan air mata bercucuran ia berkata kepada perawat itu: “Nona, mengapa engkau begitu baik dan berbelas kasih kepadaku?”. Setelah terdiam sejenak, perawat itu, sambil menunjuk pada salib di dinding tadi berkata: “Dia yang menyuruhku supaya aku memberikan 1 buah ginjalku untukmu”. Si atheis itu tertunduk, barangkali baru menyadari kekeliruannya, lalu berkata: “Nona, sekarang aku percaya kepada Dia”.