Hari Minggu Paskah VI, tahun B
Para
saudara,
Pada
perang dunia II (thn 1939-1945), Negara Polandia, negaranya Paus Yohannes
Paulus II, dijajah oleh negara Jerman. Pada saat itu, siapa saja yang berani
melawan dan menyanggah orang Jerman, akan ditangkap dan dimasukan dalam
penjara. Pada saat itu, di Polandia, ada seorang pastor, namanya P. Maximilian Kolbe. Pastor ini,
sudah pernah menegur tentara Jerman karena sangat kasar kepada masyarakat dan
tidak menghargai hukum. Karena itu, P. Maximilian Kolbe, ditangkap kemudian
dimasukan dalam penjara.
Suatu
hari, semua tahanan yang ada dalam penjara, termasuk P. Maximilian Kolbe, disuruh berbaris di
lapangan. Di situ, dipilih seorang dari tahanan itu yang akan dipotong
lehernya. Untuk penentuan itu, dibuat suatu undian dan menurut undian itu jatuh
kepada seorang bapak. Bapak ini, mempunyai satu orang istri dan dan banyak
anaknya. P. Maximilian Kolbe, sangat kasihan kepada bapak itu, karena begitu
besar tanggung-jawabya, karena ada istri dan anak-anaknya.
Karena
itu, P. Maximilian Kolbe, meminta kepada komandan supaya ia diperkenankan
menggantikan bapak itu. “Biarlah aku menggantikan bapak ini, supaya dia tetap
hidup”, kata pastor itu kepada komandan.
Pada permulaan tidak diijinkan oleh komandan, tetapi karena pastor itu terus
mendesak, akhirnya komandan mengijinkan.
Akhir kisah, bapak tadi selamat, tidak jadi dipenggal kepalanya, tetapi P.
Maximilian Kolbe, mati dipotong lehernya, hanya karena rasa kasih dan cintanya kepada bapak itu dan
keluarganya.
Para
saudara,
P. Maximilian Kolbe, sebagai pastor,
tahu betul inti agama kita yakni cinta kasih. Menurut Yesus, kasih yang
terbesar adalah jika seseorang menderita demi sesamanya: “Tiada kasih yang lebih besar daripada cinta kasih orang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”, demikian dikatakan Yesus
tadi kepada para mudid-Nya, dalam bacaan Injil.
Pertanyaan
kita: dari mana cinta kasih itu? “Cinta kasih berasal dari Allah”, demikian
dikatakan penulis surat pertama Rasul Yohanes tadi dalam bacaan kedua. Allah
menaruh cinta kasih kepada kita dengan mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus,
sebagai pepulih atas dosa-dosa kita. Dan dalam melaksanakan kehendak Bapa-Nya
itu, Yesus Kristus, meninggalkan kemulian-Nya, mengambil rupa seorang hamba,
hidup seperti kita, merasakan penderitaan dan akhirnya berpuncak dengan
kematian-Nya di kayu salib, semuanya demi cinta-Nya kepada kita dan demi keselamatan
kita.
Para
saudara,
Pada
hari ini, Yesus menyapa kita semua: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu
saling mengasihi seperti aku telah mengasihi kamu”. Ini penting dicatat: bukan
mengasihi dalam perspektif manusia, tetapi seperti Yesus mengasihi. Kalau mengasihi
menurut perspektif manusia, kasih itu penuh dengan pertimbangan untung rugi,
diwarnai oleh egoisme, sukuisme dan isme-isme yang lain. Kasih jenis ini tidak
berbuah dan tidak membangun. Contohnya: mencintai hanya orang-orang yang kita
senangi dan membenci orang yang tidak sepaham dengan kita.
Kasih
yang dimaksud oleh Yesus adalah KASIH ILAHI, sama seperti pengalaman Petrus dalam bacaan I tadi, ketika berada di
kaisarea dan berjumpa dengan Kornelius, seorang kafir. Menurut bangsa Israel,
merekalah bangsa pilihan dan yang pantas memperoleh keselamatan. Tetapi Petrus
menyaksikan bahwa untuk orang-orang kafir pun, juga memiliki Roh Kudus. Karena itu Petrus
berkata: “Sungguh, aku kini mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.
Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran, berkenan di hati-Nya”.
Itulah cara mengasihi yang sesungguhnya.
Kasih ilahi, dan tidak membeda-bedakan; kasih yang membangun dan menyelamatkan.
Sama seperti kasih Allah dan Yesus kepada dunia; sama seperti kasih para rasul
yang merangkul semua orang, baik kelompok bersunat maupun tidak bersunat; sama
seperti Pastor Maximilian Kolbe, dalam kisah tadi. Tuhan, ajarilah kami untuk
mencintai sesama seperti Engkau telah mencintai kami. Amen (Sarudik / P.Sam
GulĂ´/13-05-2012). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar