Selasa, 10 Januari 2012

Mengisi Hidup Dengan Mutiara-mutiara Hidup

                                                     Syukuran Natal & Tahun Baru STKIP St. Maria Sibolga

Para saudara,
Seorang pengamat pendidikan di Sulawesi Tenggara, yakni  Prof Dr Abdullah Alhadza, mengatakan:  “Penyelenggaraan ujian nasional (UN) yang setiap tahun pelaksanaan menelan dana ratusan miliar rupiah, gagal meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Setiap kali penyelenggaraan UN, para siswa hanya sibuk mengejar bocoran soal sedangkan guru aktif mencari siasat memfasilitasi siswa berbuat curang agar bisa mendapatkan nilai bagus dan lulus UN”. (Kompas, Selasa, 13 Desember 2011).
Lebih lanjut ia mengatakan, “UN yang menyedot anggaran negara sekitar Rp600 miliar setiap tahun, hanya menghasilkan kualitas ketidakjujuran anak bangsa. Setiap kali penyelenggaraan UN, ribuan polisi dikerahkan mengamankan naskah dan jalannya UN, ribuan dosen diterjunkan menjadi pengawas independen, ratusan bupati dan wali kota serta puluhan gubernur turun memantau ke ruangan ujian. Namun hasilnya, hanya sedikit sekolah yang kurang melakukan kecurangan dalam UN," ujarnya. Akibatnya adalah anak-anak didik malas belajar tapi rajin mengejar bocoran soal, sedangkan para guru bukan mencari teknik mengajar yang efektif melainkan proaktif mencari siasat untuk membocorkan soal.
Ini hanya salah satu saja dari sekian banyak potret buram dunia pendidikan kita. Belum lagi permasalahan dana BOS, yang mana penyaluran dan pemanfaatannya banyak  penyimpangan dan terindikasi korupsi. Belum lagi permasalahan larinya ratusan para peneliti Indonesia ke luar negeri. Riza Muhida, dosen peneliti Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, Jakarta, mencatat: di Inggris ada peneliti kita yang menjadi dosen peneliti teladan tingkat universitas; ada peneliti Indonesia yang menjadi peneliti muda terbaik di Asia Pasifik, dan banyak ilmuwan kita di luar negeri yang memperoleh penghargaan atas dedikasinya.

Para saudara,
Hari ini, keluarga besar STKIP Santa Maria Sibolga, merayakan Syukuran Natal dan Tahun Baru, dengan tema: “Sungguh Alangkah baik dan Indahnya Apabila Saudara-saudari Diam dan Rukun” (Mazmur 133:1), dengan Sub Tema: “Dengan Semangat Natal, Mari Kita Tingkatkan Persaudaraan di Lingkungan Kampus dan Masyarakat”. Thema dan Sub Thema yang baik, perihal PERSAUDARAAN, sesuai dengan sifat ketimuran: persaudaraan dan keharmonisan. Pertanyaan sekarang adalah: persaudaraan yang bagaimana yang  harus kita bangun?
Masih ingat, mulai awal Desember lalu, kita sibuk dengan pelbagai perayaan natal, kalau perlu didatangkan pengkotbah dari luar daerah. Pertanyaannya: apakah kita sudah lebih lebih rukun dan menghayati hidup persaudaraan?  Lalu, mengapa setiap kali perayaan natal,  harus ada penjagaan dari aparat kepolisian? Tampak bahwa sebetulnya kita belum benar-benar menghayati persaudaraan. Kenapa sering terjadi tawuran antar pelajar dan para mahasiswa?  Ini sebagian kecil saja dari potret perilaku generasi muda kita sekarang.
Dengan berbagai situasi dan peristiwa di atas, menggiring kita pada suatu pertanyaan reflektif: mengapa persaudaraan kita termasuk di kalangan generasi muda begitu rapuh dan gampang sisusupi oleh hal-hal yang pragmatis dan sektarian? Ini perlu direfleksikan secara mendalam. Dan dunia pendidikan harus bisa menjawab ini, karena dunia pendidikan merupakan salah satu organ terpenting dalam mendidik, membangun dan membentuk kepribadian anak bangsa.
Natal tidak semata-mata sebagai suatu perayaan historis, yang dirayakan setiap tahun, tetapi lebih sebagai suatu ‘metanoia’ yakni: pertobatan, pembaharuan hidup, agar pantas menerima Tuhan dalam hidup kita. Dalam pembacaan firman Tuhan tadi, kita mendengar ketika Yesus masuk ke rumah ibadat di kota Kapernaum dan mengajar, orang-orang takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa. Maksudnya: pengajaran-Nya berasal dari kedalaman hatinya; pengajaran-Nya menjawab keprihatinan dan kebutuhan pendengar-Nya; kata-kata-Nya lahir dari penghayatan-Nya.

Para saudara,
Pada akhir kotbah ini, perkenankanlah saya  mengisahkan satu buah cerita. Ada 3 penunggang kuda yang sedang melintasi padang pasir. Pada suatu malam, saat menyeberang sungai, mereka dikejutkan oleh suatu suara yang muncul dari kegelapan malam, “Hai, berhenti!”. Mereka pun berhenti. Suara itu meminta mereka agar turun dari kuda, dan mengambil segenggam batu kerikil dan memasukkannya ke saku celana. Kata suara itu lagi, “Kamu telah taat pada perintahku. Besok pagi, menjelang fajar, kamu akan bergembira dan serentak sedih!”. Kemudia suara misterius itu menghilang. Ketiga penunggang kuda itu, melanjutkan perjalanan dengan rasa bingung.
Ketika fajar tiba, mereka merogoh saku celana masing-masing dan menjumpai mukjizat, batu-batu kerikil kini telah berubah menjadi batu-batu berharga: emas, intan, mutiara dan berlian. Benar juga, mereka bahagia dan serentak sedih. Sedih karena mereka tidak mengambil kerikil lebih banyak.

Para saudara,
Hidup kita pun ibarat ke-3 penunggang kuda itu: membuang banyak kesempatan dalam hidup ini;  kita lalai mengisi kantong kehidupan kita dengan mutiara-mutiara hidup. Mutiara-mutiara hidup itu adalah: nilai-nilai injili, nilai-nilai kekristenan, nilai-nilai positif dalam setiap agama. Jka nilai-nilai ini sudah dihayati dengan baik, maka akan mewujud mwelalui pertobatan, pembaharuan hidup, persaudaraan, cinta kasih dan damai sejahtera. Melalui proses belajar-mengajar dan perkuliahan di STKIP ini, para mahasiswa akan dibekali dengan nilai-nilai itu semua. Maka manfaatkanlah..! Isilah kantong kehidupanmu dengan mutiara-mutiara itu, jika tidak maka suatu saat nanti anda juga akan menyesal, seperti ketiga penumpang kuda tadi.
 Dengan mengisi kantong kehidupanmu dengan mutiara-mutiara hidup, maka para mahasiswa, selain telah mengisi dan membangun hidupnya dan dirinya sendiri, juga telah ikut berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan kita di tanah air. Dengan mengisi kantong kehidupan anda dengan mutiara-mutiara berharga itu, kelak para saudara pun menjadi pengajar yang berwibawa dan berkuasa, seperti Yesus sendiri, mengajar dengan penuh kuasa.
(Katedral/P. Sam. /10-01-2012)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar