Para saudara,
Dalam Harian Kompas, beberapa waktu lalu, dalam
ruang Konsultasi Keluarga, terbacalah pengalaman pahit yang dialami oleh seorang
gadis bernama Narti, nama samaran. Narti seorang perawat dari keluarga miskin
di kampung, yang bertugas di salah satu
rumah sakit, dimana ia berkenalan dengan seorang dokter spesialis, yang berasal
dari keluarga terpandang. Berbekal kecantikan, Narti berhasil memikat hati sang
dokter. Perkenalan mereka berlanjut ke jenjang pernikahan. Narti begitu
berbahagia, impiannya terwujut, dinikahi oleh dokter. Dalam sekejab, status
Narti berubah total, ia memiliki
segalanya: rumah besar, mobil mewah, bisa rekreasi kemana saja, dlsb.
Beberapa waktu kemudian, Narti mendapat surat
kaleng, yang nota bene berasal dari kaum kerabat sang suami, yang berisi
ejekan: “Narti perempuan desa, tidak tahu diri, miskin dan berpendidikan
rendah, seharusnya tidak layak menjadi istri dokter, yang berpendidikan tinggi,
berasal dari keluarga terpandang, kaya dan punya jabatan penting”. Pada
permulaan, Narti sangat terpukul dengan isi surat kaleng itu, tetapi berkat
dukungan dan pengertian suaminya, Narti tetap bersemangat.
Para saudara,
Gejala yang dialami oleh Narti,
bukan merupakan hal baru, malah sudah tumbuh dalam sejarah keselamatan umat
terpilih. Nabi-nabi yang terpanggil oleh Allah untuk menyampaikan pesan-Nya, dipilih
dari segala lapisan masyarakat; ada dari golongan imam-mam dan bangsawan,
misalnya nabi Yesaya, tetapi ada juga dari golongan rendah, misalnya nabi Amos,
seorang petani dan peternak. Bangsa Israel, melalui Amazia, pernah menentang
Amos, “Pergilah, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makananmu di
sana dan bernubuatlah di sana! Tetapi jangan lagi bernubuat di Betel, sebab
inilah tempat kudus raja ” (Am 7:12-13).
Nabi Yeheskiel, yang kita dengar
dalam bacaan I tadi, memang seorang imam, tetapi ia berkarya di tengah-tengah
kaum buangan di Babel tahun 597 SM, sehingga ia dipandang sebelah mata. Sama
halnya seorang pastor yang sudah lama bertugas di pedalaman, kemudian pindah ke
kota, ia pasti membutuhkan waktu dan penyesuaian diri dengan kehidupan kota, dengan segala permasalahan dan kompleksitasnya.
Para saudara,
Dengan peristiwa yang dialami oleh
Narti tadi, kemudian para nabi, khususnya Amos dan Yeheskiel, kita bisa
mengerti peristiwa yang dialami oleh Yesus. Pada umur 30 tahun, Yesus mulai
tampil di hadapan umum, pergi ke mana-mana memaklumkan Kerajaan Allah. Dalam
waktu singkat, Ia menjadi tokoh terkenal dan dikagumi banyak orang.
Suatu saat Ia pulang ke kampungnya
Nasareth. Seperti biasanya Iapun mulai mengajar dan orang banyak kagum
mendengarnya. Lalu beberapa saat kemudian, orang mulai berbisik-bisik, “…bukankah
Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?
Bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?”. Lalu mereka pun
kecewa dan menolak Dia. Mengapa mereka menolak Yesus? Penduduk Nasareth
berpendapat bahwa Yesus yang sudah mereka kenal itu, tidak mungkin sebagai
Pembawa Sabda Allah yang begitu bernilai.
Para saudara
Pengalaman Narti, para nabi dan
Yesus sendiri, yang ditolak dan tidak diterima, sangat sering kita alami dalam
kehidupan nyata. Kadang kita sering mendengar, “Wah, mengapa dia yang terpilih
sebagai Kepala Sekolah? Kenapa dia yang terpilih sebagai DPPI, Ketua
Lingkungan, pengurus ini dan pengurus itu?”.
Kita mempertanyakan hal ini terlebih jika kita sudah tahu latar-belakang
orang tersebut. Kata-kata Yesus dalam Injil pada hari ini menjadi hiburan bagi
kita: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya
sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya”.
Sikap tidak menerima dan menolak seperti
diperlihatkan di atas, bukan sikap seorang kristiani. Bagi kita orang Kristen, siapa
pun terpilih dan menjadi apa, itu adalah panggilan dari Tuhan dan menjadi
sarana pelayanan bagi sesama. Jika kita dari awal sudah menolak dan berpikiran
negatif terhadap seseorang, kita akan menuai hasil yang buruk pula. Tetapi jika
kita mendukung, bekerja sama dengan orang yang memimpin kita, misalnya menjadi
pengurus lingkungan atau penggiat pastoral, hasilnya pasti akan lebih baik. Marilah
dalam perayaan Ekaristi ini kita berdoa, semoga kita semakin mampu menerima
orang dan percaya bahwa dalam diri setiap orang, siapapun dia, Allah berkarya. (Pantai_Binasi_Sibolgajulu/ P. Sam Gulô/08-07-2012).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar