Hari Minggu
Biasa XVII, Tahun B
Para saudara,
Saya mempunyai pengalaman menarik ketika saya hendak
mengikuti testing masuk Seminari Tinggi
di Pematangsiantar, pada thn 1988. Kami sudah mengikuti semua tes: tes IQ,
pengetahuan umum, kepribadian, dll. Tinggallah tes kesehatan. Untuk tes
kesehatan ini ada 2 macam, yaitu pemeriksaan secara medis di RS dan uji ketahanan fisik. Selesai
pemeriksaan kesehatan di RS, diteruskan dengan tes ketahanan fisik. Untuk tes
ini, kami disuruh mengelilingi Pulau Samosir dengan berjalan kaki. Kami hanya
diberi uang transport dari Siantar ke Parapat terus ke Tomok, setelah itu berjalan kaki, dengan mencari keperluan
sendiri. Jadi sekaligus mengemis. Kami dibagi dalam kelompok, setiap kelompok
ada 5 orang.
Dari
Tomok kami mulai berjalan dari sebelah kiri, terus keliling dan akhirnya sampai
di Tomok lagi, selama 3 hari tiga malam. Ada perasaan was-was, mana kala jam
sudah menunjukkan pukul 20.00 malam: dimana harus menginap? Biasanya kami
mencari rumah-rumah orang sederhana atau orang miskin, dengan perkiraan tidak
akan menolak kami. Umumnya mereka senang dan menerima kami. Hari terakhir itu, rumah
yang kami tumpangi sangat sederhana, dindingnya papan yang sudah lapuk. Di rumah itu pas tidak ada persediaan beras, kami
menikamati saja apa yang ada. Kami sangat senang tinggal di rumah itu, karena
keluarga itu sangat baik dan ramah.
Para saudara,
Dari
kisah petualangan ini, memberi pesan jelas kepada kita bahwa ada yang lebih
penting daripada tempat tidur yang empuk atau makanan yang enak, dlsb, yakni
soal PENERIMAAN, bahwa kita dianggap sebagai saudara atau bahkan bagian dari
keluarga mereka, ini jauh lebih bernilai daripada hal-hal atau tanda-tanda
lahiriah lainnya.
Kita
sebagai manusia, memang sangat membutuhkan orang lain. Bagaikan rusa
mendambakan air, demikian pula kita, seolah-olah lapar dan haus akan kehadiran
orang lain. Melalui kehadiran sesama, ada satu nilai di situ, yaitu: penerimaan
dan pengakuan, dan ini melebihi segalanya. Seperti pengalaman kami tadi waktu
keliling Pulau Samosir, lebih tertarik bermalam di rumah orang sederhana dan
miskin, dengan harapan bahwa di sana kita lebih diterima dan dihargai sebagai
saudara.
Para saudara,
Dalam
bacaan Injil hari ini, Yesus membuat mukjizat dengan memperbanyak roti. Hanya dengan
lima roti jelai dan dua ikan, Yesus sanggup memberi makan lima ribu orang
banyaknya dan bahkan masih tersisa 12 bakul. Apa makna penggandaan roti ini? Mukjizat
roti, dimaksudkan sebagai sarana untuk menumbuhkan iman dalam hati manusia
supaya percaya dan menerima Tuhan. Inilah
nilai terdalam, dibalik mukjizat penggandaan roti itu.
Hal yang sama juga terjadi dalam bacaan I tadi. Yahwe,
melalui Elisa, memberi makan seratus orang, padahal hanya ada 20 roti jelai dan
gandung. Elisa berkata, “Berikanlah
kepada orang-orang itu, supaya mereka
makan, sebab beginilah firman Tuhan: orang akan makan, bahkan akan ada
sisanya”. Mukjizat penggandaan roti di sini, dimaksudkan sebagai sarana
untuk menumbuhkan iman dalam hati orang Israel supaya percaya kepada Yahwe. Maka percaya
kepada Yahwe, merupakan nilai terdalam dibalik
mukjizat penggandaan roti itu.
Para saudara,
Pada
hari Minggu ini, dalam perayaan Ekaristi, ada acara pelantikan WKRI. Apa yang
mau diungkapkan dengan tanda pelantikan ini? Yakni bahwa dengan pelantikan ini,
Tuhan memakai kumpulan wanita ini, dalam berbagai aktifitasnya, untuk
menggarami masyarakat dengan semangat kristiani. Kalau kita perhatikan eksistensi WKRI di Paroki kita, mulai dari
awal berdirinya hingga sekarang, sepertinya kurang stabil, kadang hidup dan mati.
Manakala ada perhelatan politik tertentu, misalnya menjelang pemilu, maka
organisasi-organisasi kemasyarakatan menjadi hidup, setelah pemilu mulai redup
bahkan hilang dari peredaran. Marilah kita hilangkan citra dan kesan negatif seperti
itu.
WKRI
merupakan salah satu organ penting dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan menggereja, karena itu perlu
kita pelihara bersama. Dan untuk kita semua, apapun aktifitas kita, entah di
masyarakat maupun di Gereja, kata-kata rasul Paulus, menjadi peganngan kita,
yakni supaya kita memelihara kesatuan Roh: satu tubuh, satu Roh, satu Tuhan,
satu iman, satu pembaptisan dan satu Bapa. Dalam semangat kesatuan roh itu, kita bersama-sama merayakan
Ekaristi, yang menguduskan kita, memampukan kita memuliakan Tuhan dan menumbuhkan semangat
untuk saling berbagai, seperti Yesus membagi-bagikan roti kepada orang banyak
dulu. Dengan demikian maka mukjizat penggandaan roti oleh Yesus dulu, senantiasa
diperbaharui dan dihadirkan kembali. (Katedral/P. Sam Gulô/29-07-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar