Minggu, 08 Juli 2012

Menerima Orang Lain

                                                  Hari Minggu Biasa XIV, Tahun B

Para saudara,
Dalam Harian Kompas, beberapa waktu lalu, dalam ruang Konsultasi Keluarga, terbacalah pengalaman pahit yang dialami oleh seorang gadis bernama Narti, nama samaran. Narti seorang perawat dari keluarga miskin di kampung, yang  bertugas di salah satu rumah sakit, dimana ia berkenalan dengan seorang dokter spesialis, yang berasal dari keluarga terpandang. Berbekal kecantikan, Narti berhasil memikat hati sang dokter. Perkenalan mereka berlanjut ke jenjang pernikahan. Narti begitu berbahagia, impiannya terwujut, dinikahi oleh dokter. Dalam sekejab, status Narti berubah total,  ia memiliki segalanya: rumah besar, mobil mewah, bisa rekreasi kemana saja, dlsb.
Beberapa waktu kemudian, Narti mendapat surat kaleng, yang nota bene berasal dari kaum kerabat sang suami, yang berisi ejekan: “Narti perempuan desa, tidak tahu diri, miskin dan berpendidikan rendah, seharusnya tidak layak menjadi istri dokter, yang berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terpandang, kaya dan punya jabatan penting”. Pada permulaan, Narti sangat terpukul dengan isi surat kaleng itu, tetapi berkat dukungan dan pengertian suaminya, Narti tetap bersemangat.


Para saudara,
Gejala yang dialami oleh Narti, bukan merupakan hal baru, malah sudah tumbuh dalam sejarah keselamatan umat terpilih. Nabi-nabi yang terpanggil oleh Allah untuk menyampaikan pesan-Nya, dipilih dari segala lapisan masyarakat; ada dari golongan imam-mam dan bangsawan, misalnya nabi Yesaya, tetapi ada juga dari golongan rendah, misalnya nabi Amos, seorang petani dan peternak. Bangsa Israel, melalui Amazia, pernah menentang Amos, “Pergilah, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makananmu di sana dan bernubuatlah di sana! Tetapi jangan lagi bernubuat di Betel, sebab inilah tempat kudus raja ” (Am 7:12-13).
Nabi Yeheskiel, yang kita dengar dalam bacaan I tadi, memang seorang imam, tetapi ia berkarya di tengah-tengah kaum buangan di Babel tahun 597 SM, sehingga ia dipandang sebelah mata. Sama halnya seorang pastor yang sudah lama bertugas di pedalaman, kemudian pindah ke kota, ia pasti membutuhkan waktu dan penyesuaian diri dengan kehidupan kota,  dengan segala permasalahan dan kompleksitasnya.
Para saudara,
Dengan peristiwa yang dialami oleh Narti tadi, kemudian para nabi, khususnya Amos dan Yeheskiel, kita bisa mengerti peristiwa yang dialami oleh Yesus. Pada umur 30 tahun, Yesus mulai tampil di hadapan umum, pergi ke mana-mana memaklumkan Kerajaan Allah. Dalam waktu singkat, Ia menjadi tokoh terkenal dan dikagumi banyak orang.
Suatu saat Ia pulang ke kampungnya Nasareth. Seperti biasanya Iapun mulai mengajar dan orang banyak kagum mendengarnya. Lalu beberapa saat kemudian, orang mulai berbisik-bisik, “…bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?”. Lalu mereka pun kecewa dan menolak Dia. Mengapa mereka menolak Yesus? Penduduk Nasareth berpendapat bahwa Yesus yang sudah mereka kenal itu, tidak mungkin sebagai Pembawa Sabda Allah yang begitu bernilai.

Para saudara
Pengalaman Narti, para nabi dan Yesus sendiri, yang ditolak dan tidak diterima, sangat sering kita alami dalam kehidupan nyata. Kadang kita sering mendengar, “Wah, mengapa dia yang terpilih sebagai Kepala Sekolah? Kenapa dia yang terpilih sebagai DPPI, Ketua Lingkungan, pengurus ini dan pengurus itu?”.  Kita mempertanyakan hal ini terlebih jika kita sudah tahu latar-belakang orang tersebut. Kata-kata Yesus dalam Injil pada hari ini menjadi hiburan bagi kita: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya”.
Sikap tidak menerima dan menolak seperti diperlihatkan di atas, bukan sikap seorang kristiani. Bagi kita orang Kristen, siapa pun terpilih dan menjadi apa, itu adalah panggilan dari Tuhan dan menjadi sarana pelayanan bagi sesama. Jika kita dari awal sudah menolak dan berpikiran negatif terhadap seseorang, kita akan menuai hasil yang buruk pula. Tetapi jika kita mendukung, bekerja sama dengan orang yang memimpin kita, misalnya menjadi pengurus lingkungan atau penggiat pastoral, hasilnya pasti akan lebih baik. Marilah dalam perayaan Ekaristi ini kita berdoa, semoga kita semakin mampu menerima orang dan percaya bahwa dalam diri setiap orang, siapapun dia, Allah berkarya.  (Pantai_Binasi_Sibolgajulu/    P. Sam Gulô/08-07-2012).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar