Minggu, 05 Agustus 2012

Roti Dari Surga

                                                            Hari Minggu Biasa XVIII Tahun B

Para saudara,
Ada satu falsafah hidup orang bijak yang mengatakan: “Makan bukan semata-mata untuk perut, tetapi untuk hidup”. Bisa juga dengan kata-kata bijak  lain: “Makan untuk HIDUP tetapi HIDUP bukan untuk makan”. Kalau hidup hanya untuk makan, itu sama artinya dengan makan semata-mata hanya untuk perut, itu adalah gaya binatang. Lihatlah binatang: kemana-mana hanya cari makanan, bahkan makanan yang sudah ada dalam moncong temannya pun masih berusahan direbutnya. Bisa juga terjadi dalam situasi yang lain, takkala kita menghadiri suatu acara atau pesta, apakah dalam kehidupan bermasyarakat, kelompok adat, ataupun yang sifatnya gerejani: selesai makan, langsung pulang; SMP = siap makan pulang, ruang pertemuan pun pelan-pelan kosong. Dalam situasi seperti itulah berlaku falsafah tadi, makan untuk perut dan bukan untuk hidup.
Bagi manusia, makan memang amat penting, tetapi tidak semata-mata untuk mengenyangkan perut, melainkan demi hidup. Makan juga tidak hanya semata-mata sebagai aktifitas mengunyah dan menelan, tetapi makan memiliki makna religius, karena itu aktifitas makan, sering disebut sebagai perjamuan. Dalam perjamuan ada tata-cara, aturan main dan etiketnya bahwa melalui perjamuan, nampaklah “nilai luhur pribadi manusia”, sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Maka, untuk manusia berlaku: “Makan bukan semata-mata untuk perut, tetapi untuk hidup”


Para saudara,
            Dalam bacaan Injil tadi, kita menyaksikan orang banyak mencari-cari Yesus. Namun sesungguhnya, yang mereka cari bukan Yesus, melainkan roti. Mereka pernah menyaksikan bagaimana Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima buah roti jelai dan dua ikan. Bersama Yesus mereka merasa nyaman, perut mereka tetap kenyang, walaupun hidup bermalas-malas dan tidak bekerja. Dalam konteks ini, disinilah berlaku falsafah tadi, “makan untuk perut”. Karena itu Yesus berkata kepada mereka: “… sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan menjadi kenyang”.  
Hal yang sama dialami oleh umat Israel di padang gurun, setelah keluar dari Mesir. Mereka bersungut-sungut kepada Musa dan Harun: “Ah kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Tetapi kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membubuh seluruh jemaat ini dengan kelaparan”. Rupanya makanan yang berkelimpahan di Mesir sangat berkesan bagi mereka.  Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya Allah sedang melakukan karya besar untuk mereka, dengan menggunakan Musa dan Harun, membebaskan mereka dari penindasan di Mesir dan hidup sebagai bangsa yang merdeka.  

Para saudara,
Bagaimana dengan kita? Kadang alasan kita mengikuti Tuhan sering amat duniawi dan amat manusiawi. Kita sering bersikap seperti  orang Israel, yang bersungut-sungut di padang gurun karena kekurangan makanan. Bagi mereka lebih penting kelezatan makan di Mesir daripada nilai kebebasan yang ditawarkan oleh Allah; atau seperti orang Yahudi yang hanya mencari Yesus karena roti.  Bagi mereka, roti dan isi perut  lebih penting daripada nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus. Ini merupakan sikap yang keliru dalam mengikuti Yesus. Karena itu Yesus mengingatkan kita pada hari ini, “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup kekal….”. Yesus sekaligus memberi penjelasan, bahwa roti yang diberikan oleh Musa di padang gurun, itu diturunkan dari surga. Karena itu, rejeki yang kita terima, entah karena diberi orang lain atau kita usahakan sendiri, harus dilihat sebagai pemberian Tuhan, sebagai roti yang diturunkan dari surga.
Dan di atas semuanya itu, rejeki yang paling besar adalah Yesus sendiri. Ia besabda: “Akulah roti hidup; dan barangsiapa percaya kepada-Ku takkan haus lagi”. Yesuslah roti yang sesungguhnya, yang sungguh memuaskan rasa lapar dan dahaga. Seharusnya, setiap kali kita mengikuti Ekaristi dan menyantap tubuh-Nya, dan ketika kita pulang ke rumah kita masing-masing, kita memperoleh spirit dan semangat baru; kita merasa damai, tenteram dan bahagia. Dengan demikian, sabda Yesus pada hari: “Akulah roti hidup…”, sungguh kita alami dan kita nikmati dalam kehidupan kita. “Akulah roti hidup; dan barangsiapa percaya kepada-Ku takkan haus lagi”. (Katedral/P. Sam Gulô/05-08-2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar