Para saudara,
Ada
satu falsafah hidup orang bijak yang mengatakan: “Makan bukan semata-mata untuk perut, tetapi untuk hidup”. Bisa
juga dengan kata-kata bijak lain: “Makan untuk HIDUP tetapi HIDUP bukan untuk
makan”. Kalau hidup hanya untuk makan, itu sama artinya dengan makan
semata-mata hanya untuk perut, itu adalah gaya binatang. Lihatlah binatang:
kemana-mana hanya cari makanan, bahkan makanan yang sudah ada dalam moncong
temannya pun masih berusahan direbutnya. Bisa juga
terjadi dalam situasi yang lain, takkala kita menghadiri suatu acara atau
pesta, apakah dalam kehidupan bermasyarakat, kelompok adat, ataupun yang
sifatnya gerejani: selesai makan, langsung pulang; SMP = siap makan pulang,
ruang pertemuan pun pelan-pelan kosong. Dalam situasi seperti itulah berlaku
falsafah tadi, makan untuk perut dan bukan untuk hidup.
Bagi
manusia, makan memang amat penting, tetapi tidak semata-mata untuk
mengenyangkan perut, melainkan demi hidup. Makan juga tidak hanya semata-mata
sebagai aktifitas mengunyah dan menelan, tetapi makan memiliki makna religius,
karena itu aktifitas makan, sering disebut sebagai perjamuan. Dalam perjamuan
ada tata-cara, aturan main dan etiketnya bahwa melalui perjamuan, nampaklah
“nilai luhur pribadi manusia”, sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
Maka, untuk manusia berlaku: “Makan
bukan semata-mata untuk perut, tetapi untuk hidup”
Para saudara,
Dalam bacaan Injil tadi, kita
menyaksikan orang banyak mencari-cari Yesus. Namun sesungguhnya, yang mereka
cari bukan Yesus, melainkan roti. Mereka pernah menyaksikan bagaimana Yesus
memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima buah roti jelai dan dua ikan.
Bersama Yesus mereka merasa nyaman, perut mereka tetap kenyang, walaupun hidup
bermalas-malas dan tidak bekerja. Dalam konteks ini, disinilah berlaku falsafah
tadi, “makan untuk perut”. Karena itu Yesus berkata kepada mereka: “… sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan
karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti
itu dan menjadi kenyang”.
Hal
yang sama dialami oleh umat Israel di padang gurun, setelah keluar dari Mesir.
Mereka bersungut-sungut kepada Musa dan Harun: “Ah kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika
kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Tetapi
kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membubuh seluruh jemaat ini
dengan kelaparan”. Rupanya makanan yang berkelimpahan di Mesir sangat
berkesan bagi mereka. Mereka tidak sadar
bahwa sesungguhnya Allah sedang melakukan karya besar untuk mereka, dengan menggunakan
Musa dan Harun, membebaskan mereka dari penindasan di Mesir dan hidup sebagai
bangsa yang merdeka.
Para saudara,
Bagaimana dengan kita? Kadang alasan kita mengikuti
Tuhan sering amat duniawi dan amat manusiawi. Kita sering bersikap seperti orang Israel, yang bersungut-sungut di padang
gurun karena kekurangan makanan. Bagi mereka lebih penting kelezatan makan di
Mesir daripada nilai kebebasan yang ditawarkan oleh Allah; atau seperti orang Yahudi yang hanya mencari Yesus karena roti. Bagi mereka, roti dan isi perut lebih penting daripada nilai-nilai Kerajaan
Allah yang diwartakan oleh Yesus. Ini merupakan sikap yang keliru dalam mengikuti
Yesus. Karena itu
Yesus mengingatkan kita pada hari ini,
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk
makanan yang bertahan sampai kepada hidup kekal….”. Yesus sekaligus memberi
penjelasan, bahwa roti yang diberikan oleh Musa di padang gurun, itu diturunkan
dari surga. Karena itu, rejeki yang kita terima, entah karena diberi orang lain
atau kita usahakan sendiri, harus dilihat sebagai pemberian Tuhan, sebagai roti
yang diturunkan dari surga.
Dan
di atas semuanya itu, rejeki yang paling besar adalah Yesus sendiri. Ia besabda:
“Akulah roti hidup; dan barangsiapa
percaya kepada-Ku takkan haus lagi”. Yesuslah roti yang sesungguhnya, yang
sungguh memuaskan rasa lapar dan dahaga. Seharusnya, setiap kali kita mengikuti
Ekaristi dan menyantap tubuh-Nya, dan ketika kita pulang ke rumah kita
masing-masing, kita memperoleh spirit dan semangat baru; kita merasa damai,
tenteram dan bahagia. Dengan demikian, sabda Yesus pada hari: “Akulah roti
hidup…”, sungguh kita alami dan kita nikmati dalam kehidupan kita. “Akulah roti hidup; dan barangsiapa percaya
kepada-Ku takkan haus lagi”. (Katedral/P.
Sam Gulô/05-08-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar